Selasa, 12 Desember 2017

video upacara pemberkatan pernikahan umat budha


Upacara Perenikahan Umat Budha
Persyaratan saat akan mengadakan pernikahan didalam tradisis Budha:
  • Mengisi Formulir Pemberkataan Pernikahan Dengan Benar
  • Fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) beragama Buddha sebanyak 3 lembar dilegalisir oleh Lurah. Apabila beragama non-Buddha, harap melampirkan surat pernyataan beragama Buddha di atas materai Rp. 6.000,- diketahui RT/RW/lurah setempat sebanyak 2 lembar
  • Fotokopi Kartu Keluarga (KK) calon mempelai sebanyak 3 lembar dilegalisir oleh Lurah (model komputerisasi)
  • Fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) orangtua calon mempelai/wali yang akan menghadiri upacara pemberkahan sebanyak 3 lembar.
  • Fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) saksi sebanyak 3 lembar (saksi masing-masing mempelai sebanyak 1 orang - tidak boleh saudara kandung)
  • Fotokopi Akta Lahir sebanyak 3 lembar
  • Surat Keterangan Lurah setempat bentuk/model PM1-WNI, N1, N2, dan N4 atau model lainnya yang menerangkan status sebanyak 3 lembar (satu asli dan yang lainnya fotokopi). Minta surat keterangan RT/RW terlebih dahulu Seperti :
  • PM1 WNI: surat keterangan untuk pembuatan akta pernikahan di Kantor Catatan Sipil
  • Dan N1: surat keterangan status, N2: surat keterangan asal-usul, N4: surat keterangan orang tua
  • Fotokopi Surat Ganti Nama mempelai & orangtua sebanyak 3 lembar (jika ada)
Setelah semua persyaratan di laksanakan maka akan diadakan pemeberkatan oleh Biksu ditempat Vihara yang telah kita pilih untuk pelaksanaan pernikahan tersebut, serta melakukan perjanjian suci dengan lafal
1.Paritta Vandana
      NAMO TASSA BHAGAVATO ARAHATO SAMMASAMBUDDHASA (Dilafalkan 3 Kali)
2. Paritta Tisarana ( Tiga Perlindungan )
       Selengkapnya bisa lihat disini 
Tisarana( Paritta Perlindungan ) Beserta Artinya
3. Pancasila Buddhis ( Sila Ke Tiga )

        Kamesu micchacara veramaņi sikkha-padam samadiyami, artinya Aku bertekad akan melatih diri menghindari perbuatan asusila


video upacara 12 hari setelah melahirkan

Upacara Bayai Umur 12 Hari
Setelah bayi berumur 12 hari dibuatkan suatu upacara yang disebut Upacara Ngelepas Hawon. Sang anak biasanya baru diberi nama (nama dheya) demikian pula sang catur sanak atau keempat saudara kita setelah dilukat berganti nama di antaranya: Banaspati Raja, Sang Anggapati, Banaspati dan Mrajapati
Pelaksanaan upacara ini ditujukan kepada si ibu dan si anak. Upacaranya dilakukan di dapur, di permandian dan di kemulan berfungsi memohon pengelukatan ke hadapan Bhatara Brahma, Wisnu dan Siwa.
Inti pokok upacara yang ditujukan kepada si ibu adalah: banten byakaon dan prayascita disertai dengan tirta pebersihan dan pengelukatan. Sedangkan banten inti yang diperuntukkan kepada si bayi adalah, banten pasuwungan yang terdiri dari peras, ajuman, daksina, suci. soroan alit pengelukatan, dan lainnya.
Banten pengelukatan di dapur, permandian dan kemulan pada pokoknya sama, hanya saja warna tumpengnya yang berbeda. Yaitu:
  • tumpeng merah untuk di dapur
  • tumpeng hitam untuk di permandian dan
  • tumpeng putih untuk di kemulan.
Inti pokok banten pengelukatan tersebut antara lain: peras dengan tumpeng, ajuman, daksina, pengulapan, pengarnbian, penyeneng dan sorotan alit serta periuk tempat tirta pengelukatan.


video upacara ulamba


Upacara Ulamaba
Ulambana merupakan salah satu hari suci umat Budhis  yang diselenggarakan pada tanggal pertama hingga ke-15 penanggalan Imlek. Pada hari tersebut, para Bhikku Sangha  sedang menjalankan masa Vasa (retret selama Musim Hujan berlangsung). Setelah menjalankan masa tersebut, banyak Bikhu  yang mengalami peningkatan dalam kehidupan spritualnya sehingga menjadi "lahan teramat subur" untuk menanam kebajikan. Para umat Budha  yang memberikan persembahan kepada mereka akan memperoleh Karma baik lebih besar daripada biasanya. Umat juga bisa melimpahkan jasa kebajikan yang diperoleh dari persembahan tersebut untuk roh leluhur mereka serta makhluk-makhluk yang menderita di alam preta (alam hantu kelaparan).
Bagi umat Buddha, ritual Ulambana merupakan hari dimana semua anak-anak mempraktikkan rasa hormat dan kasih sayang kepada orang tuanya yang sekarang (dalam kehidupan yang sekarang ini), orang tua pada masa lampau (kehidupan sebelum tumimbal lahir yang sekarang), dan masa depan


video upacara magendong-gendong

Upacara Magendong-gendong
Dilakukan di dalam pemandian di dalam rumah,ibu yang sedang mengandung disucikan,di tempat suci itu disertakan pula alat upacara berupa benang hitam satu ikat yang kedua ujungnya diikatkan pada cabang kayu dadap,bambu runcing,air berisikn ikan yang masih hidup,ceraken dibungkus dengan kain lalu cabang kayu dadap yang terikat dengan kayu dadap ditancapkan pada pintu gerbang.Ceraken yang berisi air dan ikan dijinjing oleh sang ibu,sang suami memegang dengan tangan kiri,sedangkan tangan kanan suami memegang bamboo,air suci dipercikan pada sesajian yang telah disediakan,.setelah itu suami istri bersembahyang memohon keselamatan agar bayi yang di dalam kandungan  selamat sampai lahirnya nanti tanpa hambatan,upacara ini disertakan pula mantra-mantra sepertidi Bali digunakan mantra Matrpuja Nadisraddhadan danPrapajapalopuja yang samata-mata dilakukan untuk keselamatan ibu


video upacara pemakaman umat Budha

Upacara pemakaman umat Budha
Karena didalam Agama Budha dilarang menunjukan duka dan kesedihan saat ada anggota keluarga yang meninggal, karena mayat atau jiwa yang akan pergi harus merasakan ketenangan dan meninggal dengan damai, sehingga upacaranya pun diadakan dengan cara membuat bunyi-bunyian atau suara yang meriah walau bermakna sedih.
            Pakaian dan peti matinya juga tidak boleh yang mahal-mahal, karena diatuktan akan menyusahkan keluarga yang telah ditinggal mati, dan juga tidak boleh membawa perhiasan atau sejenisnya, dengan alasan bahwa kita lahir pun tak memebawa apa-apa, begitupun dengan meninggal.


video upacara ngaben

Upacara Ngaben
Ngaben merupakan salah satu upacara yang dilakukan oleh Umat Hindu di Bali yang tergolong upacara Pitra Yadnya (upacara yang ditunjukkan kepada Leluhur). Beberapa pengertian dari Ngaben, sebagai berikut : 1. Ngaben secara etimologis berasal dari kata api yang mendapat awalan nga, dan akhiran an, sehingga menjadi ngapian, yang disandikan menjadi ngapen yang lama kelamaan terjadi pergeseran kata menjadi ngaben. Upacara Ngaben selalu melibatkan api, api yang digunakan ada 2, yaitu berupa api konkret (api sebenarnya) dan api abstrak (api yang berasal dari Puja Mantra Pendeta yang memimpin upacara). 2. Versi lain mengatakan bahwa Ngaben berasal dari kata beya yang artinya bekal, sehingga ngaben juga berarti upacara memberi bekal kepada Leluhur untuk perjalannya ke Sunia Loka. 3. Versi lain, Ngaben berasal dari nge - "abu" - in. Disandikan menjadi Ngaben, merupakan upacara pengembalian unsur tubuh kepada unsur alam.
Dan dilaksanakan dengan berbagaimacam rangkaian tatacara yang ada didalam upacara Ngaben, diantaranya yaitu:
1.   Ngulapin
2.   Nyiramin/Ngemandusin
3.   Ngajum Kajang
4.   Ngaskara
5.   Mameras
6.   Papegatan
7.   Pakiriman Ngutang
8.   Ngising
9.   Nganyu
10.   Makelud

sistem kemasyarakatan, pemerintahan, filsafat dan kepercayaan pada masa Hindu dan Budha di Indonesia

seni ukir peninggalan kerajaan Hindu-Budha

peninggalan sejarah Hindu dan Budha di Indonesia

ebook

kerajaan Hindu Budha di Indonesia

ebook

dokumentasi hasil seni sastra Hindu dan Budha

jurnal

ebook

jurnal

jurnal

jurnal

ebook

Kamis, 07 Desember 2017

Responding paper kelompok 12




Responding paper kelompok 12
Upacara kelahiran, Perkawinan dan kematian dalam agama Budha

Kelahiran dan Bayi Upacara
Dalam Buddhisme Theravada, ada praktek ritual tertentu diamati ketika seorang anak lahir dari orangtua Buddhis.Ketika bayi cocok untuk dibawa keluar dari pintu, orang tua memilih hari baik atau bulan purnama hari dan bawa anak ke candi terdekat. Mereka pertama kali menempatkan anak di lantai ruang kuil atau di depan patung Buddha untuk menerima berkat-berkat dari Tiga Permata (Buddha, sangha dan dharma). Ini adalah pemandangan umum di Maligawa Dalada, Kuil Gigi Relic Suci, di Kandy.
Pada saat upacara keagamaan setiap hari (Puja) candi, ibu menyerahkan bayi mereka ke awam wasit (kapuva) di dalam ruangan kuil, yang pada gilirannya membuat untuk beberapa detik di lantai dekat ruang relik dan tangan kembali ke ibu. Sang ibu menerima anak dan memberikan biaya yang kecil ke kapuva untuk layanan yang diberikan.
Lahir Setelah kelahiran anak, orang tua sering berkonsultasi biarawan ketika memilih nama, yang harus memuaskan, sementara bahasa menyampaikan suatu arti yang baik.. Tergantung pada daerah, praktek-praktek agama lain mungkin mengikuti kelahiran. Di bagian tengah negara itu, misalnya, bayi akan memiliki lazim kepalanya dicukur ketika ia berusia satu bulan. Hal ini pada dasarnya ritus Brahminic, yang disebut upacara khwan, dapat disertai dengan upacara Budha di mana rahib membacakan ayat-ayat dari teks-teks suci.
Pentahbisan. Ritus kedua dalam rentang kehidupan manusia kebanyakan Thailand penahbisan ke dalam kap biksu. Secara tradisional, seorang pemuda yang tidak diterima secara sosial sampai ia telah menjadi seorang biarawan, dan banyak orangtua bersikeras bahwa setelah seorang anak mencapai usia dua puluh ia akan ditahbiskan sebelum menikah atau memulai karir resmi. Ada juga alasan lain untuk memasuki kap biksu, seperti untuk membuat manfaat untuk jiwa berangkat dari kerabat, atau untuk orang tuanya ketika mereka masih hidup, atau untuk membayar janji kepada Sang Buddha setelah meminta dia untuk memecahkan masalah pribadi atau keluarga .
Perkawinan dan upacara perkawinan
Perkawinan adalah perjodohan laki-laki dan perempuan menjadi suami isteri. Di dalam Tipitaka tidak banyak ditemukan uraian-uraian yang mengatur masalah perkawinan, akan tetapi dari berbagai sutta dapat diperoleh hal-hal yang sangat penting bagi suami dan isteri untuk membentuk perkawinan yang bahagia.
Azas perkawinan
“Sebagai warga negara Indonesia yang mempunyai kewajiban hukum mentaati ketentuan dan peraturan hukum Negara yang berlaku, termasuk juga mengenai perkawinan, maka di dalam melaksanakan perkawinan dan dengan segala akibatnya menurut hukum, haruslah mentaati ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil”.
Di dalam Undang-undang Perkawinan yang berlaku tersebut, ditentukan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang laki-laki hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang perempuan hanya boleh mempunyai seorang suami. Terdapat perkecualian bahwa Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang, apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan alasan-alasan yang ditentukan secara limitatif yaitu apabila isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri, apabila isteri mendapat cacad badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan apabila isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Kematian dalam agama Budha
Bila kematian tiba,
Tak ada yang kubawa serta,
Harta, kemewahan bukan lagi milikku,
Kedudukan, nama dan kekuasaan,
Semua telah sirnah.
Siapa mengiringi perjalananku ?
Lenyap sudah tali ikatan
Teman, sahabat, keluarga tercinta,
Hanya tinggal kenangan ……
Kini ku teringat,
48 janji besar Amithabha Buddha’
Tekad mulia menolong semua makhluk,
Bebas dari derita,
Untuk lahir dari surga sukhavati,
Kepada-Nya aku berlindung,
Sepenuh hati ku berseru :
Namo AmithabhaBuddha. (berulang-ulang)[3]
Agama Buddha mengajarkan, bahwa kematian bukanlah akhir dari segalanya. Kematian hanyalah satu fase peralihan antara hidup yang sekarang dengan kehidupan dialam tumimbal lahir yang baru.
Bagi mereka yang sewaktu msih hidup rajin berlatih membina diri, menghayati dan melaksanakan ajaran Hyang Buddha. Maka dia akan mengetahui kapan saat ajalnya tiba, bahkan ada yang mengetahui jauh sebelum waktunya, bisa beberapa : tahun; bulan; minggu; atau 1-2 hari sebelumnya tergantung dari ketakutan dan kemantapannya  di dalam menghayati Buddhi Darma. Sehingga menjelang saatnya tiba, dia dapat melakukan persiapan seperlunya, yaitu membersihkan diri dan menukar pakaian, lalu bermeditasi sambil menyebut Namo Amhitabha Buddha.
Menurut agama buddhapun, hidup tidak hanya sekali . adanya silkus lahir dan mati,bagaikan siang dan malam. Kematian bukanlah akhir, karna seketika itu pula berlanjut pada kelahiran kembali. Melalui lahir dan mati dari alam yang satu kea lam yang lain, ataupun kembali kea lam yang sama, para mahluk menjalani lingkaran tumimbal lahir. Buddha mengatakan,”sesuai dengan karmanya mereka akan bertumimba-lahir dan dalam tumimba lahirnya itu mereka akan menerima akibat dari perbuatannya sendiri. Karna itu aku menyatakan: semua makhluk adalah ahliwaris dalam perbuatannya sendiri” (A.V, 291).
Karma juga membagi para makhluk menjadi berbeda, yang dikatakan sebagai hina dan mulia. Doktrin karma menjelaskan kenapa ada manusia yang pendek usia, ada yang panjang usia; yang sering sakit dan jarang sakit; yang buruk rupa dan cantik rupawan; yang sedikit rezeki dan banyak rezeki; yang miskin dan kaya raya; yang memiliki keluarga kecil dan keluarga besar ; yang dungu dan pandai bijaksana (M. III, 202-203). Ketika ada yang terlahir catat, karma juga alasannya. Ada daya tarik  si anak dengan karma orang tuanya. Adanya karma individual dan adanya karma kolektif.
Sedangakan gagasan penganut Buddha tradisional tentang kematian didasarkan pada doktrin india kuno yaitu samsara, dan secara beragam diterjemaahkan sebagai renkarnasi atau transmigrasi- dari waktu kehidupan menjadi kehidupan yang lain.


sejarah vihara Avalokitesvara



Vihara Avalokitesvara Graha merupakan salah satu vihara Buddha di Tanjungpinang, Kepulauan Riau, Indonesia. Vihara ini disebut sebagai vihara terbesar se-Asia Tenggara. Vihara ini dibangun oleh sebuah yayasan komunitas Tionghoa di Tanjung Pinang untuk dijadikan sebagai tempat memperdalam ilmu agama, berguru dan belajar para bhiksu, sangha, dan guru baik yang datang dari daerah lokal maupun dari luar negeri seperti Tiongkok, Singapura, dan Malaysia.
Vihara Avalokitesvara Graha berada kurang lebih 14 km dari pusat kota Tanjung Pinang. Vihara ini terletak di Kelurahan Air Raja di sebelah kiri Jalan WR Supratman, jalur lintas Tanjung Pinang-Tanjung Uban, Batu 14.
Pintu gerbang yang megah dan menjulang tinggi menjadi ciri khas dari vihara ini, dengan buah patung singa menyambut para pengunjung untuk memasuki area vihara ini. Sepanjang jalan masuk, pengunjung akan disuguhi taman yang luas yang ditumbuhi beraneka ragam tumbuhan salah satunya yaitu pohon buah naga.
Vihara Avalokitesvara Graha diresmikan oleh Menteri Agama Republik Indonesia pada bulan Juni 2009. Vihara yang digunakan sebagai tempat ibadah bagi warga keturunan Tionghoa ini juga biasa dijadikan tempat berkunjung bagi wisatawan asing dari Malaysia, Singapura, maupun Thailand. Beberapa wisatawan berpendapat, jika mengunjungi vihara
ini, maka sudah tidak lagi terasa berada di Indonesia, namun terasa sudah berada di negara-negara Asia Timur, khususnya Tiongkok. Selain sebagai tempat beribadah bagi warga keturunan Tionghoa, vihara ini juga dijadikan tempat memperdalam ilmu agama.
Uniknya lagi di dalam bangunan utama vihara terdapat sebuah patung Dewi Kuan Yin Phu Sha dalam posisi duduk yang di nobatkan Museum Rekor Indonesia menjadi patung Dewi Kuan Yin terbesar yang ada di dalam ruangan. Tinggi patung itu mencapai 16,8 meter, terbuat dari tembaga dengan berat 40 ton, dan berlapis emas 22 karat. Dalam vihara ini, juga ditambahkan hiasan-hiasan dinding dan patung dewa-dewi setinggi kurang lebih 3,5 - 4 meter yang berdiri sejajar di kiri dan kanan ruangan menghadap patung Dewi Kuan Yin Phu Sha ditambah lagi suasana hening di dalam vihara yang jauh dari keramaian.

Sejarah Pura Prabu Siliwangi


Pura Prabu Siliwangi di komplek Pura Jagatkarta (Randy/detikTravel)
Bogor - Siapa sangka kalau Bogor memiliki pura Hindu untuk menghormati Prabu Siliwangi dengan nama Pura Parahyangan Agung Jagatkartta. Konon, pura yang ada di kaki Gunung Salak itu dibangun berdasarkan wangsit gaib yang mistis.
Dalam kunjungan ke Pura Parahyangan Agung Jagatkartta bersama rombongan Forum Wartawan Pariwisata, Senin (13/4/2015) detikTravel dibuat kagum akan keunikan pura Hindu dengan nuansa Sunda tersebut. Suasana hijau dan sejuk mendominasi pura tersebut.
Sejarah pembangunannya erat dengan Sri Baduga Maharaja, atau biasa disebut dengan Prabu Siliwangi. Ada anggapan bahwa pura tersebut merupakan tempat penghormatan bagi Prabu Siliwangi, di samping fungsinya sebagai tempat ibadah umat Hindu.
 
"Ini dulu petilasan Prabu Siliwangi, kita membangun ini dapat telisik atau wangsit," ujar pemangku Pura Parahyangan Agung Jagatkartta, Mangku Nengah Widiana kepada detikTravel dan kawan-kawan media.
Boleh percaya boleh tidak, namun pura yang dibangun pada tahun 1995 dan diresmikan tahun 2005, dibangun atas dasar wangsit gaib. Rumornya, ada suatu panggilan dalam mimpi yang meminta dibangun sebuah pura di lokasi tersebut.
"Lokasi ini dulunya berdiri Kerajaan Pakuan," ujar Mangku Nengah Widiana.
Di dalam bagian utama pura yang tertutup bagi umum dan dikhususkan bagi umat yang beribadah, tampak dua pura dengan latar Gunung Salak. Di kiri terdapat pura yang dikhususkan bagi Prabu Siliwangi, Pura Padma di kanan, dan Gunung Salak di tengahnya.
Di Pura Prabu Siliwangi, terlihat juga dua ekor patung harimau yang tampak gagah. Satu di sisi kiri berwarna putih, dan satunya lagi berwarna hitam. Keduanya terlihat layaknya penunggu dari sang Prabu Siliwangi, begitu mistis.
Uniknya lagi, pura tersebut dikunjungi tidak hanya oleh umat di sekitar. Tidak sedikit juga pengunjung yang datang langsung dari Bali untuk beribadah. Selain itu semua materialnya dibawa dari Bali dan dirakit di sini.
D area Pura Jagatkartta juga terdapat Pura Melanting dan Pura Pasar Agung yang digunakan umat Hindu untuk berdoa memohon rezeki dan penglaris. Letaknya berada tepat di samping Pura Jagatkartta.
"Area utama kuil tertutup bagi pengunjung, hanya terbuka bagi umat yang mau beribadah saja untuk menjaga kesucian," ujar Mangku Nengah Widiana
Adapun bagi pengunjung yang tidak ingin beribadah dan hanya mau berwisata, diizinkan masuk ke area pura yang telah ditentukan setelah sebelumnya melepas alas kaki dan memakai selendang di pinggang. Tidak dikenakan biaya masuk, hanya donasi seikhlasnya.
Pura Parahyangan Agung Jagatkarta menerima kunjungan umum mulai dari pukul 11.00-15.00 WIB. Namun bagi umat yang ingin beribadah, pura buka selama 24 jam.

https://www.google.co.id/imgres?imgurl=https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhnms6SY9d20fXMWiS_-P8CSFBWcqRZuUXuz4Rh1uZm0hzAruOQ6Uf3t-F6Z8AVfCPRI7liHzHELPC39teFRV_epaYeK6IrTt5wGHyzJH3sFf679qs63-VH5zZlSRrMLt8R-y3deiepDBg/s1600/Gunung-Salak.jpg&imgrefurl=http://ronentalmedia.blogspot.com/2012/12/sekilas-sejarah-pura-gunung-salak.html&h=300&w=400&tbnid=MqWRB1T_bveYqM:&tbnh=160&tbnw=213&usg=__lEe92iplUdeprmXtogfB_j3XtL8%3D&vet=10ahUKEwj1q7_lsOTXAhXDpI8KHeU_DHAQ9QEILjAA..i&docid=h_xiNh7gi7dxnM&sa=X&ved=0ahUKEwj1q7_lsOTXAhXDpI8KHeU_DHAQ9QEILjAA


video upacara pemberkatan pernikahan umat budha

Upacara Perenikahan Umat Budha Persyaratan saat akan mengadakan pernikahan didalam tradisis Budha: Mengisi Formulir Pemberkataan ...