Responding paper kelompok 12
Upacara kelahiran, Perkawinan dan kematian dalam agama Budha
Kelahiran
dan Bayi Upacara
Dalam
Buddhisme Theravada, ada praktek ritual tertentu diamati ketika seorang anak
lahir dari orangtua Buddhis.Ketika bayi cocok untuk dibawa keluar dari pintu,
orang tua memilih hari baik atau bulan purnama hari dan bawa anak ke candi
terdekat. Mereka pertama kali menempatkan anak di lantai ruang kuil atau di
depan patung Buddha untuk menerima berkat-berkat dari Tiga Permata (Buddha,
sangha dan dharma). Ini adalah pemandangan umum di Maligawa Dalada, Kuil Gigi
Relic Suci, di Kandy.
Pada
saat upacara keagamaan setiap hari (Puja) candi, ibu menyerahkan bayi mereka ke
awam wasit (kapuva) di dalam ruangan kuil, yang pada gilirannya membuat untuk
beberapa detik di lantai dekat ruang relik dan tangan kembali ke ibu. Sang ibu
menerima anak dan memberikan biaya yang kecil ke kapuva untuk layanan yang
diberikan.
Lahir
Setelah kelahiran anak, orang tua sering berkonsultasi biarawan ketika memilih
nama, yang harus memuaskan, sementara bahasa menyampaikan suatu arti yang
baik.. Tergantung pada daerah, praktek-praktek agama lain mungkin mengikuti
kelahiran. Di bagian tengah negara itu, misalnya, bayi akan memiliki lazim
kepalanya dicukur ketika ia berusia satu bulan. Hal ini pada dasarnya ritus
Brahminic, yang disebut upacara khwan, dapat disertai dengan upacara Budha di
mana rahib membacakan ayat-ayat dari teks-teks suci.
Pentahbisan.
Ritus kedua dalam rentang kehidupan manusia kebanyakan Thailand penahbisan ke
dalam kap biksu. Secara tradisional, seorang pemuda yang tidak diterima secara
sosial sampai ia telah menjadi seorang biarawan, dan banyak orangtua bersikeras
bahwa setelah seorang anak mencapai usia dua puluh ia akan ditahbiskan sebelum
menikah atau memulai karir resmi. Ada juga alasan lain untuk memasuki kap
biksu, seperti untuk membuat manfaat untuk jiwa berangkat dari kerabat, atau
untuk orang tuanya ketika mereka masih hidup, atau untuk membayar janji kepada
Sang Buddha setelah meminta dia untuk memecahkan masalah pribadi atau keluarga
.
Perkawinan
dan upacara perkawinan
Perkawinan
adalah perjodohan laki-laki dan perempuan menjadi suami isteri. Di dalam
Tipitaka tidak banyak ditemukan uraian-uraian yang mengatur masalah perkawinan,
akan tetapi dari berbagai sutta dapat diperoleh hal-hal yang sangat penting
bagi suami dan isteri untuk membentuk perkawinan yang bahagia.
Azas
perkawinan
“Sebagai
warga negara Indonesia yang mempunyai kewajiban hukum mentaati ketentuan dan
peraturan hukum Negara yang berlaku, termasuk juga mengenai perkawinan, maka di
dalam melaksanakan perkawinan dan dengan segala akibatnya menurut hukum,
haruslah mentaati ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Undang-undang No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan UU No 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1983
tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil”.
Di
dalam Undang-undang Perkawinan yang berlaku tersebut, ditentukan bahwa
perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang
laki-laki hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang perempuan hanya boleh
mempunyai seorang suami. Terdapat perkecualian bahwa Pengadilan dapat memberi
izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang, apabila
dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan alasan-alasan yang
ditentukan secara limitatif yaitu apabila isteri tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai isteri, apabila isteri mendapat cacad badan atau penyakit
yang tidak dapat disembuhkan dan apabila isteri tidak dapat melahirkan
keturunan.
Kematian dalam agama Budha
Bila kematian tiba,
Tak ada yang kubawa serta,
Harta, kemewahan bukan lagi milikku,
Kedudukan, nama dan kekuasaan,
Semua telah sirnah.
Siapa mengiringi perjalananku ?
Lenyap sudah tali ikatan
Teman, sahabat, keluarga tercinta,
Hanya tinggal kenangan ……
Kini ku teringat,
48 janji besar Amithabha Buddha’
Tekad mulia menolong semua makhluk,
Bebas dari derita,
Untuk lahir dari surga sukhavati,
Kepada-Nya aku berlindung,
Sepenuh hati ku berseru :
Namo AmithabhaBuddha.
(berulang-ulang)[3]
Agama Buddha mengajarkan, bahwa
kematian bukanlah akhir dari segalanya. Kematian hanyalah satu fase peralihan
antara hidup yang sekarang dengan kehidupan dialam tumimbal lahir yang baru.
Bagi mereka yang sewaktu msih hidup
rajin berlatih membina diri, menghayati dan melaksanakan ajaran Hyang Buddha.
Maka dia akan mengetahui kapan saat ajalnya tiba, bahkan ada yang mengetahui
jauh sebelum waktunya, bisa beberapa : tahun; bulan; minggu; atau 1-2 hari
sebelumnya tergantung dari ketakutan dan kemantapannya di dalam menghayati Buddhi Darma. Sehingga
menjelang saatnya tiba, dia dapat melakukan persiapan seperlunya, yaitu
membersihkan diri dan menukar pakaian, lalu bermeditasi sambil menyebut Namo
Amhitabha Buddha.
Menurut
agama buddhapun, hidup tidak hanya sekali . adanya silkus lahir dan
mati,bagaikan siang dan malam. Kematian bukanlah akhir, karna seketika itu pula
berlanjut pada kelahiran kembali. Melalui lahir dan mati dari alam yang satu
kea lam yang lain, ataupun kembali kea lam yang sama, para mahluk menjalani
lingkaran tumimbal lahir. Buddha mengatakan,”sesuai dengan karmanya mereka akan
bertumimba-lahir dan dalam tumimba lahirnya itu mereka akan menerima akibat
dari perbuatannya sendiri. Karna itu aku menyatakan: semua makhluk adalah
ahliwaris dalam perbuatannya sendiri” (A.V, 291).
Karma juga membagi para makhluk
menjadi berbeda, yang dikatakan sebagai hina dan mulia. Doktrin karma
menjelaskan kenapa ada manusia yang pendek usia, ada yang panjang usia; yang
sering sakit dan jarang sakit; yang buruk rupa dan cantik rupawan; yang sedikit
rezeki dan banyak rezeki; yang miskin dan kaya raya; yang memiliki keluarga
kecil dan keluarga besar ; yang dungu dan pandai bijaksana (M. III, 202-203).
Ketika ada yang terlahir catat, karma juga alasannya. Ada daya tarik si anak dengan karma orang tuanya. Adanya
karma individual dan adanya karma kolektif.
Sedangakan
gagasan penganut Buddha tradisional tentang kematian didasarkan pada doktrin
india kuno yaitu samsara, dan secara beragam diterjemaahkan sebagai renkarnasi
atau transmigrasi- dari waktu kehidupan menjadi kehidupan yang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar