Ajaran Hindhu Dharma tentang Etika (Susila)
Disusun Oleh :
Sifa Fauziah (11150321000037)
Munawaroh (11150321000040)
JURUSAN STUDI AGAMA-AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2017
Daftar Isi
Daftar
Isi
BAB
I PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
B.
Rumusan
Masalah
C.
Tujuan
Penulisan
D.
Manfaat
Penulisan
BAB
II PEMBAHASAN
A.
Filsafat
Tat Twam Asi
B.
Pengertian
Cubhakarma (perbuatan baik) dan jenis-jenisnya
C.
Pengertian
Achubakarma (perbuatan tidak baik) dan jenis-jenisnya
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan
B.
Saran
DAFTAR
PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Dalam agama Hindu etika dinamakan
susila, yang berasal dari dua suku kata, su yang berarti baik, dan sila berarti
kebiasaan atau tingkah laku perbuatan manusia yang baik. Dalam hal ini maka
etika dalam agama Hindu dikatakan sebagai ilmu yang mempelajari tata nilai,
tentang baik dan buruknya suatu perbuatan manusia, mengenai apa yang harus
dikerjakan dan apa yang harus ditinggalkan, sehingga dengan demikian akan
tercipta kehidupan yang rukun dan damai dalam kehidupan manusia. Pada dasarnya
etika merupakan rasa cinta kasih, rasa kasih sayang, dimana seseorang yang
menjalani dan melaksanakan etika itu karena ia mencintai dirinya sendiri dan
menghargai orang lain.
Etika menjadikan kehidupan
masyarakat menjadi harmonis, karena saling menjunjung tinggi rasa saling
menghargai antar sesama dan saling tolong menolong. Dengan etika akan membina
masyarakat untuk menjadi anggota keluarga dan anggota masyarakat yang baik,
menjadi warga negara yang mulia.
Etika (Ethic = Bahasa Inggris) artinya, susila, kesusilaan, ilmu
akhlak. Sila adalah salah satu kerangka dasar ajaran agama Hindu (Tatwa, Sila
Upacara) atau merupakan ajaran pertama dan utama dari Saptangga Dharma, yaitu:
1) Sila = Kesusilaan
2) Yadnya =
Persembahan suci
3) Tapa =
Pengendalian diri
4) Dana = Berderma
5) Prawrjya =
Menyebarkan Dharma
6) Diksa = Upacara
inisisai
7) Yoga = Menunggalkan
diri dengan Tuhan
Pada Sloka Wrehaspati Tattwa No. 25 itu dijelaskan bahwa, “Sila
ngaranya mangrakascara rahayu”, yang artinya Sila adalah menjaga
perilaku/kebiasaan agar tidak menyimpang dari norma-norma kebenaran dan
kebaikan. Dengan lain katanya, memelihara perangai yang baik dan benar menurut
Dharma Agama dan sosial budaya. Suatu perilaku dikatakan etis apabila; sopan,
pantas/wajar, baik, dan benar sesuai norma dan nilai yang berlaku. Sedangkan
norma atau aturan tingkah laku yang baik dan mulia disebut Tata Susila.
Ajaran
Hindu tidak memakai istilah dogmatik baik dan jahat atau surga dengan neraka
melainkan memiliki etika-etika yang berdasar karena kebutuhan untuk
menyelaraskan keinginan individu, emosi, dan ambisi untuk mengarahkannya pada
sebuah kehidupan yang harmonis di bumi dengan tujuan mutlak dari agama Hindu
untuk menyadari keberadaan kita sendiri. Kesadaran diri menurut pandangan Hindu
adalah kesadaran pada diri kita dengan Tuhan, sebagai sumber dan intisari dari
keberadaan manusia dan kebebasannya. Dalam kitab Hindu menyatakan bahwa setiap
individu yang terdiri dari tubuh fisik (sarira), pikiran (manas), intelek
(buddhi), dan diri (atman). Berdasarkan 4 hal itu, setiap individu membutuhkan
hal-hal keduniawian (artha) untuk dapat mempertahankan tubuh fisik dan
memuaskan segala kebutuhan keluarga dengan ketergantungannya. Untuk memuaskan
pikiran dan intelek, kebutuhan untuk memenuhi keinginannya dan pengejaran
intelek (kama) atau penyatuan dengan Tuhan merupakan tujuan utama dalam
kehidupan manusia.
Setiap
manusia harus memainkan perannya demi kebaikan masyarakat, bangsa, dan dunia
dengan melakukan tindakan yang dimotivasi kebaikan sosial dan bertindak sesuai
dengan batasan dharma (kebenaran), tugas, moral, dan hukum sosial. Sehingga
dalam hal ini terdapat empat tujuan prinsip hidup manusia yaitu dharma, artha,
kama, dan moksa. Dharma adalah yang pertama, yang menandakan bahwa ketiganya
tidak dapat dipenuhi tanpa memenuhi kewajiban dharma. Moksa adalah tujuan yang
terakhir karena keterikatan adalah memungkinkan ketika dari ketiga bagian lain
sudah terpenuhi. Walaupun dharma memiliki arti yang berbeda dari sudut pandang
etika, dharma adalah sistem moral dan nilai etika. Hindu Dharma menyadari
adanya tujuh faktor yang membuat seseorang menyimpang dari jalan dharma atau
mengarah untuk perbuatan dosa, yaitu penderitaan (tresna), kemarahan (krodha),
ketamakan (lobha), keterikatan (moha), rasa bangga (mada), kecemburuan
(matsarya), dan egoisme (ahankara).
Untuk
menghindari manusia tidak menyimpang karena pengaruh ketujuh faktor tersebut,
maka di dalam filsafat Hindu terdapat sepuluh kebajikan, yang dikenal dengan
"Dharma Laksana", yang terdapat di dalam kitab "Manu Smrti"
yaitu sebagai berikut:
Akrodha
(tidak marah): Kemarahan yang menutupi alasan, menghasilkan perbedaan antara
benar dan salah, serta kebajikan dan keburukan. Ketika pemikiran yang dapat
membedakan itu dirusak maka orang tersebut akan kehilangan identitas diri.
Seseorang yang marah akan menyakiti diri sendiri dan orang lain, dengan tiga cara
yang berbeda secara fisik (melalui kekerasan), secara verbal (melalui kata-kata
kasar), dan secara mental (melalui keinginan yang buruk). Pengendalian
kemarahan dapat diartikan sebagai sebuah pemikiran yang baik dalam diri.
Asteya
(tidak mencuri): Secara umum mencuri dapat didefinisikan sebagai mengambil
dengan paksa atau dengan tidak adil barang/benda milik orang lain. Dalam etika
Hindu, mencuri juga termasuk didalamnya ingin menguasai barang/benda orang lain
dan di atas kebutuhan legistimasi yang menghambat kemajuan orang lain, atau
mengambil kesempatan mereka dengan memiliki sesuatu melalui maksud yang ilegal.
Kurangnya pengendalian indera dan ketamakan seseorang biasanya menimbulkan
suatu keinginan untuk mencuri. Seseorang yang memegang teguh asteya akan bebas
dari ketamakan dan tidak memiliki keinginan untuk mencuri.
Atma
Vinigraha (pengendalian pikiran): Pikiran yang terganggu tidak dapat akan
membedakan benar dengan yang salah atau kebaikan dengan keburukan. Konsentrasi
dalam memberikan kebijaksanaan dan kasih yang mendalam dapat meningkatkan
kekuatan pikiran.
Dama
(pengendalian diri atau pengendalian indera): Indera harus dapat dikendalikan
sehingga dapat berfungsi sesuai dengan pengarahan alasan. Pengendalian diri
bukan tidak berarti penolakan diri namun dalam bersikap sederhana dalam
memuaskan kebutuhan dan menghindari kebodohan. Seseorang yang dapat
mengendalikan dan membebaskan dirinya dari berbicara yang lepas kendali, gosip,
minum berlebihan, dan menjaga tubuh dan pikirannya agar terkendali. Kurangnya
diskriminasi antara apa yang yang harus dan tidak harus dilakukan yang
mengarahkan seseorang pada angan-angan. Sebuah pikiran yang berkhayal menjadi
tidak sehat untuk dapat menyadari tujuan dari hidup seseorang.
Dhi
(kemurnian pikiran): Kemurnian pikiran dan intelek adalah lebih penting
daripada kecerdasan. Seorang manusia yang memiliki kemurnian intelek akan bebas
dari rasa sakit, temperamen yang tidak baik, perasaan yang buruk, dan keinginan
yang tidak dapat diduga. Para Rsi Hindu berpendapat bahwa kecerdasan sangat
dianjurkan untuk pengajaran pada kitab agar melakukan perbuatan yang baik dan
pikiran yang mulia serta meditasi yang teratur.
Dhrti
(ketetapan dan persistence): Seseorang harus tetap dalam hal pendirian untuk
dapat menemukan kebenaran. Pikiran yang selalu terus beriak tidak akan dapat
menemukan kebenaran. Hidup yang benar sangat dimungkinkan hanya dengan komitmen
seseorang untuk menjalankan kehidupannya.
Ksama
(pengampunan atau kesabaran): Pengampunan adalah kebaikan yang utama dari moral
dan etika hidup. Pengampunan dapat mempertahankan kesucian pikiran bahkan
situasi yang provokatif dalam kehidupan seseorang.
Satya
(kebenaran): Satya tidak berarti semata-mata berkata yang benar, perkataan dan
perbuatan, dan dalam hubungan kita dengan orang lain. Untuk menjalankan
kehidupan yang bermoral dan hidup yang beretika, maka seseorang harus melakukan
kebenaran. Konsep dari moralitas dapat berubah setiap waktu, namun kebenaran
tidak akan pernah berubah. Tidak ada seorangpun yang dapat menyembunyikan
kebenaran secara terus menerus.
Sauca
(kemurnian tubuh dan pikiran): Kemurnian itu terbagi dalam dua jenis yaitu
fisik dan mental. Kemurnian fisik berarti menjaga tubuh seseorang bersih dari
luar maupun dalam. Kebersihan diri dari dalam dapat diperoleh dengan
menjalankan hukum kesehatan yang baik dan memakan makanan yang
"sattvika" (makanan yang menyehatkan, kekuatan metal, kekuatan,
panjang umur, dan yang bergizi serta mengandung nutrisi). Kebersihan luar
artinya mengenakan pakaian yang bersih dan menjaga kebersihan tubuh. Kemurnian
mental berarti bebas dari pemikiran yang negatif dari nafsu, ketamakan,
kemarahan, kebencian, rasa bangga, kecemburuan, dan lain-lain.
Vidya
(pengetahuan): Kitab Hindu menyatakan bahwa pengetahuan itu ada dua jenis yaitu
pengetahuan yang lebih rendah (apara-vidya) dan pengetahuan yang lebih tinggi
(para-vidya). Pengetahuan yang lebih rendah artinya pengetahuan yang bersifat
keduniawian dalam bidang ilmu dan pengetahuan yang sangat diperlukan untuk
kehidupan di dunia. Sedangkan pengetahuan yang lebih tinggi adalah pengetahuan
spiritual yang mengajarkan cara untuk dapat mengatasi kesengsaraan yang tidak
diharapkan, menggapai tujuan yang bukan halangan, serta mencapai kekuatan
mental dan spiritual untuk dapat mengatasi perjuangan hidup. Pengetahuan
spiritual dapat diperoleh melalui belajar kitab yang berhubungan dengan orang
suci, dan dengan melakukan perbuatan yang tidak mementingkan diri (niskama).
Pengetahuan spiritual juga dapat membantu seseorang untuk menjalankan kehidupan
yang berarti, yang menguntungkan secara sosial. Tujuan pengetahuan spiritual
ini adalah untuk mencapai penyatuan yang mutlak dengan Tuhan.
Dalam
kehidupan bermasyarakat seseorang tidak terlepas dari perbuatan yang baik
maupun buruk. Maka untuk menuntun agar seseorang berprilaku baik terhadap
sesama diperlukan adanya pedoman atau petunjuk, dalam hal ini yaitu ketika
agama. Etika merupakan suatu
hal yang sangat penting sebagai acuan dalam berprilaku. Baiknya suatu
masyarakat atau individu dapat dilihat dari bagaimana dia menempatkan sesuatu
pada tempatnya, dan bagaimana dia berprilaku.
Etika merupakan rasa cinta kasih, rasa kasih sayang, dimana seseorang yang
menjalani dan melaksanakan etika itu karena ia mencintai dirinya sendiri dan
menghargai orang lain. Etika dalam
agama Hindu dikatakan sebagai ilmu yang mempelajari tata nilai, tentang baik
dan buruknya suatu perbuatan manusia, mengenai apa yang harus dikerjakan dan
apa yang harus ditinggalkan, sehingga dengan demikian akan tercipta kehidupan
yang rukun dan damai dalam kehidupan manusia.
Membicarakan tentang
etika, kita akan menemukan banyak makna yang terkandung dalam kata tersebut.
Hal ini karena pada dasarnya setiap tingkah laku manusia merupakan cerminan
kepribadian seseorang itu. Baik buruknya tingkah laku merupakan manifesto
dirinya sendiri. Sehingga sangat sulit untuk mendeskripsikan tingkah laku
seseorang atau masyarakat. Terlepas dari itu semua, dalam hal ini kita akan
membahas mengenai makna etika yang berkaitan dengan tingkah laku manusia dalam
berbagai versi secara umum.
Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, etika mempunyai tiga arti, antara lain:
1.
Ilmu tentang apa yang
baik dan apa yang buruk, serta hak dan kewajiban moral (akhlak)
2.
Kumpulan asas atau
nilai yang berkenaan dengan akhlak.
3.
Nilai yang membahas
mengenai benar dan salah yang dianut oleh suatu golongan masyarakat.
Untuk lebih mudah
memahami tentang etika, maka makna etika dapat dibedakan menjadi tiga makna
(urutan yang dibalik), yaitu:[1]
1. Nilai-nilai serta norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang
atau suatu kelompok masyarakat dalam mengatur tingkah lakunya. Dalam hal ini
etika dirumuskan sebagai sistem nilai yang bisa berfungsi baik dalam kehidupan
manusia perseorangan maupun pada tarap sosial.
Etika merupakan
kumpulan Disamping pengertian diatas, makna lain mengenai etika dapat
dijelaskan sebagai berikut.[2]
2. Etika mempunyai makna sama dengan moral yaitu suatu adat kebiasaan. Moral
mengandung makna yang berkenaan dengan perbuatan yang baik dan buruk. Disamping
itu dikenal juga konsep moralitas, yaitu sistem nilai yang terkandung dalam
petuah, nasihatasas atau nilai moral, dalam hal ini disebut sebagai kode etik.
3. Norma diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang baik atau buruknya
tingkah laku seseorang. Disini diartikan sebagai filsafat moral.
perintah atau aturan yang
diwariskan secara turun temurun melalui agama atau kebudayaan dan tentang
bagaimana seharusnya manusia hidup agar menjadi lebih baik. Moralitas
memberikan manusia petunjuk dan aturan tentang bagaimana harus hidup, bertindak
yang baik dan menghindari perilaku yang tidak baik. Moralitas juga dapat
diartikan sebagai kualitas perbuatan manusia, sehingga perbuatan manusia dapat
dikatakan baik atau buruk, salah atau benar. Dalam hal ini moralitas itu
bersumber dari hati nurani. Hati nurani itulah yang memerintahkan atau melarang
seseorang untuk melakukan sesuatu. Perbedaan moral dan etika ialah: jika moral
bersumber dari diri seseorang yaitu hati nuraninya, sedangkan etika berdasarkan
kepada hal-hal diluar dirinya seperti kebiasaan atau norma-norma yang berlaku
di masyarakat.
1. Etika disebut sebagai adat kebiasaan yaitu norma-norma yang dianut oleh
kelompok, golongan atau masyarakat tertentu, baik mengenai perbuatan yang baik
maupun perbuatan yang bruruk.
2. Etika dikenal juga sebagai studi tentang prinsip-prinsip perilaku yang baik
dan yang buruk. Dalam hal ini etika dikenal sebagai filsafat moral yang
bertujuan mempelajari fakta pengalaman manusia yang mampu membedakan yang benar
dan yang salah, yang baik dan yang buruk, dan hukumnya merupakan wajib untuk
dilaksanakan bagi seluruh umat manusia. Hal ini karena manusia dihadapkan pada
pilihan mengenai tindakan yang seharusnya dan tidak sepantasnya dilakukan, yang
boleh dan yang tidak boleh dilakukan.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
Filsafat Tat Twam Asi?
2.
Bagaimana
Pengertian Cubhakarma (perbuatan baik) dan jenis-jenisnya?
3.
Bagaimana
Pengertian Achubakarma (perbuatan tidak baik) dan jenis-jenisnya?
C.
Tujuan
Penulisan
Sebagai acuan untuk berprilaku. Baiknya suatu masyarakat atau individu dapat dilihat
dari bagaimana dia menempatkan sesuatu pada tempatnya, dan bagaimana dia
berprilaku.
D.
Manfaat
Penulisan
Etika dalam agama Hindu dikatakan sebagai ilmu yang
mempelajari tata nilai, tentang baik dan buruknya suatu perbuatan manusia,
mengenai apa yang harus dikerjakan dan apa yang harus ditinggalkan, sehingga
dengan demikian akan tercipta kehidupan yang rukun dan damai dalam kehidupan
manusia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Filsafat Tat Twam Asi
Tat Twam Asi adalah kata-kata dalam filsafat Hindu yang mengajarkan
tentang kesusilaan tanpa batas.
Tat Twam Asi terdiri dari
tiga kata, yaitu :
1. Tat berarti itu (dia)
2. Twam berarti kamu
3. Asi berarti adalah. Jadi, Tat Twam Asi artinya
itu/dia adalah kamu, dan juga saya adalah kamu.
Makna “itu” menunjukan kepada Brahman, sedangkan makna “kamu” menurut
weda menunjukan kepada Atman.
Tat Twam Asi berasal dari ajaran agama Hindu di India. Artinya
: “aku adalah engkau, engkau adalah aku”. Filosofi yang termuat dari
ajaran ini adalah bagaimana kita bisa berempati, merasakan apa yang tengah
dirasakan oleh orang yang di dekat kita. Ketika kita menyakiti orang lain, maka
diri kita pun tersakiti. Ketika kita mencela orang lain, maka kita pun tercela.
Maka dari itu, bagaimana menghayati perasaan orang lain, bagaimana mereka
berespon akibat dari tingkah laku kita, demikianlah hendaknya ajaran ini
menjadi dasar dalam bertingkah laku. [3]
Tata susila sering juga disebut dengan ethika(sopan
santun). Ethika itu dapat diterapkan sesuai dengan tujuannya, bila manusia
memiliki wiweka, yitu kemampuan membedakan dan memilih diantara yang baik
dengan yang buruk , yang benar dengan yang salah dan lain sebagainya.
Demikianlah tata susila dengan wiweka, keduanya saling melengkapi kegunaanya
dalam hidup dan kehidupan ini.
Perguruan Weda lainnya memberikan penafsiran yang
berbeda-beda mengenai kalimat tersebut:
1. Suddhadwaita: kesatuan dalam "esensi"
antara 'tat' dan diri individu; namun 'tat'
adalah keseluruhan sementara sang diri hanyalah bagian.
2.Wisistadwaita: identitas diri individu sebagai
bagian dari keseluruhan yang dinyatakan
oleh 'tat', yaitu Brahman.
3. Dwaitadwaita: kesamaan dan perbedaan yang setara antara sang diri sebagai
bagian dari suatu keseluruhan yang dinyatakan dengan 'tat'.
4.Acintya Bheda Abheda: kesatuan dan perbedaan yang tak terpikirkan/sulit
dibayangkan antara sang diri sebagai bagian dari keseluruhan yang dinyatakan
dengan 'tat'.
Bentuk- bentuk ajaran tat twan asi
Tat Twam Asi adalah ajaran moral yang bernafaskan
ajaran agama Hindu. Wujud nyata /riil dari ajaran ini dapat kita cermati dalam
kehidupan dan prilaku keseharian dari umat manusia yang bersangkutan. Jiwa
sosial ini seharusnya diresapi dengan sinar-sinar kesusilaan tuntunan Tuhan dan
tidak dibenarkan dengan jiwa kebendaan semata.
Ajaran Tat Twan Asi selain merupakan jiwa
filsafat sosial, juga merupakan dasar dari tata susila Hindu di dalam usaha
untuk mencapai perbaikan moral.
Ajaran agama yang menjadi dasar dan pedoman tata
susila Hindu diantaranya adalah ajaran Tri Kaya Parisuhda.
Ajaran Tri Kaya Parisudha merupakan tiga
kesusilaan yang penting sebagai bagian dari ajaran Dharma
Dengan demikian barang siapa yang dengan kesungguhan hati menganmalkan
ajaranya itu sudah barang tentu akan selalu dalam keadaan selamat dan bahagia,
karena ia selalu akan mendapat perlindungan dari perbuatanya yang baik itu.
B.
Pengertian Cubhakarma (perbuatan baik) dan jenis-jenisnya
Cubhakarma berasal dari bahasa sansekerta yang artinya perbuatan baik.
Jenis-jenis cubhakarma terbagi menjadi 12 yaitu: [4]
1. Tri Kaya Parisudha
Tri kaya parisudha
artinya tiga gerak perilaku manusia yang harus disucikan yaitu berfikir yang
bersih dan suci, berkata yang benar dan berbuat yang jujur. Dari pikiran yang
bersih akan muncul perkataan dan perbuatan yang baik.
2. Catur Paramita
Catur paramita adalah
empat bentuk budi luhur yaitu Maitri yang artinya lemah lembut, karuna yang
artinya belas kasihan atau kasih sayang, mudita yang artinya sifat dan sikap
menyenangkan orang lain, dan upeksa yang artinya sifat dan sikap menghargai
orang lain.
3. Panca Yama Bratha
Panca yama bratha
adalah lima macam pengendalian diri dalam hubungannya dengan perbuatan untuk
mencapai kesempurnaan rohani dan kesucian batin. Panca yama bratha ini meliputi
lima bagian yaitu ahimsa, brahmacari, satya, awyawahara dan asteya.
4. Panca Nyama Bratha
Panca Nyama Bratha
adalah lima macam pengendalian diri dalam tingkat mental untuk mencapai
kesempurnaan dan kesucian bathin, adapun bagian-bagian dari Panca Nyama Bratha
ini adalah Akrodha, Guru Susrusa, Aharalaghawa dan Apramada.
5. Sad Paramita
Sad Paramita adalah
enam jalan keutamaan untuk menuju keluhuran. Sad Paramita ini meliputi: Dana
Paramita, Sila Paramita, Ksanti Paramita, Wirya Paramita, Dhyana Paramita dan
Pradnya Paramita.
6. Catur Aiswarya
Catur Aiswarya adalah
suatu kerohanian yang memberikan kebahagiaan hidup lahir dan batin terhadap
makhluk. Catur Aiswarya terdiri dari Dharma, Jnana, Wairagya dan Aiswawarya. [5]
7. Asta Siddhi
Asta Siddhi adalah
delapan ajaran kerohanian yang memberi tuntunan kepada manusia untuk mencapai
taraf hidup yang sempurna dan bahagia lahir batin. Asta Siddhi meliputi: Dana,
Adnyana, Sabda, Tarka, Adyatmika, Adidewika, Adi Boktika dan Saurdha
8. Nawa Sanga
Nawa Sanga terdiri
dari: Sadhuniragraha, Andrayuga, Guna bhiksama, Widagahaprasana,
Wirotasadarana, Kratarajhita, Tiagaprassana, Curalaksana dan Curapratyayana.
9. Dasa Yama Bratha
Dasa Yama Bratha adalah sepuluh macam pengendalian diri, yaitu
Anresangsya atau Arimbhawa, Ksama, Satya, Dama, Arjawa, Priti, Prasada, Madurya
dan Mardhawa. [6]
10. Dasa Nyama Bratha
Dasa Nyama Bratha
terdiri dari: Dhana, Ijya, Tapa, Dhyana, Upasthanigraha, Swadhyaya, Bratha,
Upawasa, Mona dan Sanana.
11. Dasa Dharma
Yang disebut Dasa
Dharma menurut Wreti Sasana, yaitu Sauca; Indriyanigraha; Hrih; Widya; Satya;
Akrodha; Drti; Ksama; Dama dan Asteya.
12. Dasa Paramartha
Dasa Paramartha ialah
sepuluh macam ajaran kerohanian yang dapat dipakai penuntun dalam tingkah laku yang
baik serta untuk mencapai tujuan hidup yang tertinggi (Moksa). Dasa Paramartha
ini terdiri dari: Tapa; Bratha; Samadhi; Santa; Sanmata; Karuna; Karuni;
Upeksa; Mudhita dan Maitri.
C.
Pengertian Achubakarma (perbuatan tidak baik) dan jenis-jenisnya
Acubhakarma adalah
segala tingkah laku yang tidak baik yang selalu menyimpang dengan Cubhakarma
(perbuatan baik). Semua jenis perbuatan yang tergolong acubhakarma ini
merupakan larangan-larangan yang harus dihindari di dalam hidup ini. Karena
semua bentuk perbuatan acubhakarma ini menyebabkan manusia berdosa dan hidup
menderita. menurut agama Hindu, bentuk-bentuk acubhakarma yang harus dihindari
di dalam hidup ini adalah: [7]
1. Tri Mala
Tri Mala adalah tiga
bentuk prilaku manusia yang sangat kotor, yaitu Kasmala ialah perbuatan yang
hina dan kotor, Mada yaitu perkataan, pembicaraan yang dusta dan kotor, dan
Moha adalah pikiran, perasaan yang curang dan angkuh.
2. Catur Pataka
Catur Pataka adalah
empat tingkatan dosa sesuai dengan jenis karma yang menjadi sumbernya yang
dilakukan oleh manusia yaitu Pataka yang terdiri dari Brunaha (menggugurkan
bayi dalam kandungan); Purusaghna (Menyakiti orang), Kaniya Cora (mencuri
perempuan pingitan), Agrayajaka (bersuami isteri melewati kakak), dan
Ajnatasamwatsarika (bercocok tanam tanpa masanya); Upa Pataka terdiri
dariGowadha (membunuh sapi), Juwatiwadha (membunuh gadis), Balawadha (membunuh
anak), Agaradaha (membakar rumah/merampok); Maha Pataka terdiri dari
Brahmanawadha (membunuh orang suci/pendeta), Surapana (meminum alkohol/mabuk),
Swarnastya (mencuri emas), Kanyawighna (memperkosa gadis), dan Guruwadha
(membunuh guru); Ati Pataka terdiri dari Swaputribhajana (memperkosa saudara
perempuan); Matrabhajana (memperkosa ibu), dan Lingagrahana (merusak tempat
suci).
3. Panca Bahya Tusti
Adalah lima kemegahan
(kepuasan) yang bersifat duniawi dan lahiriah semata-mata, yaitu Aryana artinya
senang mengumpulkan harta kekayaan tanpa menghitung baik buruk dan dosa yang
ditempuhnya; Raksasa artinya melindungi harta dengan jalan segala macam upaya;
Ksaya artinya takut akan berkurangnya harta benda dan kesenangannya sehingga
sifatnya seing menjadi kikir; Sangga artinya doyan mencari kekasih dan
melakukan hubungan seksuil; dan Hingsa artinya doyan membunuh dan menyakiti
hati makhluk lain.
4. Panca Wiparyaya
Adalah lima macam
kesalahan yang sering dilakukan manusia tanpa disadari, sehingga akibatnya
menimbulkan kesengsaraan, yaitu: Tamah artinya selalu mengharap-harapkan
mendapatkan kenikmatan lahiriah; Moha artinya selalu mengharap-harapkan agar
dapat kekuasaan dan kesaktian bathiniah; Maha Moha artinya selalu
mengharap-harapkan agar dapat menguasai kenikmatan seperti yang tersebut dalam
tamah dan moha; Tamisra artinya selelu berharap ingin mendapatkan kesenangan
akhirat; dan Anda Tamisra artinya sangat berduka dengan sesuatu yang telah
hilang.
5. Sad Ripu
Sad Ripu adalah enam
jenis musuh yang timbul dari sifat-sifat manusia itu sendiri, yaitu Kama
artinya sifat penuh nafsu indriya; Lobha artinya sifat loba dan serakah; Krodha
artinya sifat kejam dan pemarah; Mada adalah sifat mabuk dan kegila-gilaan;
Moha adalah sifat bingung dan angkuh; dan Matsarya adalah sifat dengki dan
irihati.
6.Sad Atatayi
Adalah enam macam
pembunuhan kejam, yaitu Agnida artinya membakar milik orang lain; Wisada artinya
meracun orang lain; Atharwa artinya melakukan ilmu hitam; Sastraghna artinya
mengamuk (merampok); Dratikrama artinya memperkosa kehormatan orang lain;
Rajapisuna adalah suka memfitnah.
7. Sapta Timira
Sapta Timira adalah
tujuh macam kegelapan pikiran yaitu:
Surupa artinya gelap atau mabuk karena ketampanan; Dhana artinya gelap
atau mabuk karena kekayaan; Guna artinya gelap atau mabuk karena kepandaian;
Kulina artinya gelap atau mabuk karena keturunan; Yowana artinya gelap atau
mabuk karena keremajaan; Kasuran artinya gelap atau mabuk karena kemenangan;
dan Sura artinya mabuk karena minuman keras.[8]
8. Dasa Mala
Artinya adalah sepuluh
macam sifat yang kotor. Sifat-sifat ini terdiri dari Tandri adalah orang
sakit-sakitan; Kleda adalah orang yang berputus asa; Leja adalah orang yang
tamak dan lekat cinta; Kuhaka adalah orang yang pemarah, congkak dan sombong;
Metraya adalah orang yang pandai berolok-olok supaya dapat mempengaruhi teman
(seseorang); Megata adalah orang yang bersifat lain di mulut dan lain di hati;
Ragastri adalah orang yang bermata keranjang; Kutila adalah orang penipu dan
plintat-plintut; Bhaksa Bhuwana adalah orang yang suka menyiksa dan menyakiti
sesama makhluk.
Dasar-Dasar
Etika Hindu
Hindu
seringkali dianggap sebagai agama yang beraliran politeisme karena memuja
banyak Dewa, namun tidaklah sepenuhnya demikian. Dalam agama Hindu, Dewa
bukanlah Tuhan tersendiri. Menurut umat Hindu, Tuhan itu Maha Esa tiada duanya.
Dalam salah satu ajaran filsafat Hindu, Adwaita Wedanta menegaskan bahwa hanya
ada satu kekuatan dan menjadi sumber dari segala yang ada (Brahman), yang
memanifestasikan diri-Nya kepada manusia dalam beragam bentuk.
Dalam
Agama Hindu ada lima keyakinan dan kepercayaan, dimana keyakinan tersebut
merupakan kekuatan moral pemeluk agama Hindu yang disebut dengan Pancasradha.
Pancasradha merupakan keyakinan dasar umat Hindu. Kelima keyakinan tersebut,
yakni:
a) Widdhi sraddha sebagai
dasar etika Hindu. Karena yakin bahwa Brahman (Tuhan) berada dimana-mana dan
selalu ada serta maha tahu, mengetahui semua yang tampak dan tak tampak, maka
menjadi alasan atau dasar yang mendorong orang untuk selalu menjaga perilakunya
agar tidak menyimpang dari ajaran-ajaran Tuhan (Agama) dimana dan kapan pun,
baik ada yang melihat maupun tidak. Walau hanya dalam angan atau pikiran saja
semestinya tidak dibiarkan menyimpang karena Tuhan mengetahui apapun yang ada
dalam pikiran manusia. Apalagi umat Hindu juga yakin bahwa Tuhan menyayangi
orang-orang yang susila dan berbudi pekerti yang luhur.
b) Karena yakin dengan Atman[9]
adalah dewa yang memberikan
kekuatan hidup pada setiap mahkluk, maha saksi yang tidak dapat ditipu, maka
timbul etika tidak boleh bohong. “Sanghyang Atma sirata dewa ring sarira,
manoning ala ayu tan keneng in imur-imur.” Artinya, Sanghyang Atma adalah dewa
dalam tubuh, mengetahui palsu dan sejati (baik-buruk) tak dapat dikelabuhi.
Karena
yakin bahwa pada dasarnya Atma semua makhluk adalah tunggal, tapi berbeda
kondisinya karena karmanya dan tubuhnya masing-masing maka Hindu meyakini
konsep “Bhineka - Tunggal” artinya berbdea-beda satu sama lain namun pada
hakekatnya tunggal. Berdasarkan kenyataan bahwa manusia keadaannya
berbeda-beda, ada yang lebih tua, ada yang lebih muda, ada yang lebih tinggi
statusnya, ada yang lebih rendah, maka orang ber-tata krama atau ber-etika;
orang yang lebih rendah statusnya atau lebih muda umurnya patut menghormati
yang lebih tinggi statusnya atau lebih tua umurnya, orang lebih tinggi
statusnya atau lebih patut menghargai yang lebih rendah dan yang lebih muda.
Berdasarkan keyakinan bahwa, pada hakekatnya semua Atma adalah tunggal,
melahirkan filsafat “Tat Twam Asi” artinya dia adalah kamu : melandasi serta
mendorong etika untuk saling menghargai satu sama lain. Tat Twam Asi juga
landasan dasar salah satu ajaran Etika Hindu: “Arimbawa” maksudnya punya
pertimbangan kemanusiaan, punya rasa kasihan, ingin menolong, dapat memaafkan,
sehingga dalam memperlakukan atau menindak orang lain mengukur pada diri
sendiri. Sebelum bertindak tanya dulu kepada diri sendiri “Bagaimana seandainya
aku diperlakukan atau ditindak demikian?” Bila menimbulkan rasa tak enak,
menyakitkan, maka sebaiknya orang tidak diperlakukan demikian: bila
menyenangkan atau membahagiakan (dalam arti positif) sebaiknya dilakukan.
c) Karena yakin dengan Hukum
Karma Phala (buah perbuatan) bahwa, setiap perbuatan pasti akan membawa akibat,
maka orang menjaga sikap dan perilakunya agar selamat (anggraksa cara rahayu)
termasuk menjaga pikiran.
“Yadiastun riangen-angen maphala juga ika” Artinya, walaupun baru
hanya dalam pikiran akan membawa akibat itu. “Siapakari tan temung ayu masadana
sarwa ayu, nyata katemwaning ala masadhana sarwa ala” Artinya, siapa yang tak
akan memperoleh kebaikan bila sudah didasari dengan perbuatan baik? Pastilah
hal-hal yang buruk akan dituai bila didasari dengan perbuatan buruk. Keyakinan
pada KarmaPhala jelas menjadi dasar dan sekaligus kontrol dalam berpikir,
berkata, dan berbuat. Demikianlah keyakinan pada Hukum Karma Phala menumbuhkan
Etika Hindu.
Konsep ini sama dengan hukum sebab akibat (causal law). Selain
bernilai etika moralis, juga mempunyai nilai filosofis yang mendalam. Konsep
ini juga merupakan penuntun bagi setiap orang yang mempercayai hukum alam dan
hukum yang dibuat oleh manusia sendiri. Bila seseorang menanam jagung, pasti
akan memetik buah jagung pada saatnya. Bila seseorang berbuat baik, pasti ada
saatnya yang tepat dia akan memetik hasil perbuatannya tersebut. Oleh karena
itu, dalam agama Hindu terdapat konsep Tri Kaya Parisudha (tiga hal yang
menyangkut kesucian / kebenaran), yakni: ‘berpikir yang suci dan benar, berkata
yang suci dan benar, dan berperilaku yang suci dan benar’.
Adanya
Hukum Karma Phala menuntun kebanyakan pemeluk agama Hindu untuk berbuat yang
tidak merugikan orang lain termasuk pemeluk agama lain karena ada rasa kurang
berani menerima akibat yang buruk bagi pelaku. [10]
d) Berdasarkan keyakinan pada
Punarbhawa/samsara (reinkarnasi). Pemeluk agama Hindu sangat meyakini bahwa ada
kehidupan setelah kematian. Setelah beberapa lama di alam “sana”, mungkin di
surga atau neraka, atau sebentar di surga dan selebihnya di neraka, maka dia
akan lahir sesuai karmanya. Sisa perbuatan pada masa kehidupan yang lalu, akan
dinikmati sebagian pada kelahiran berikutnya yang dikenal dengan istilah wasana
karma. Bila orang berperilaku buruk
dalam hidupnya akan lahir menjadi makhluk yang lebih rendah, mungkin menjadi
manusia cacat bahkan mungkin menjadi binatang tergantung derajat keburukan
perilakunya, sebaiknya bila dalam hidupnya didominasi oleh perbuatan-perbuatan
baik, maka kelak ia akan lahir pada tingkat makhluk yang lebih mulia seperti
menjadi manusia yang lebih rupawan, pintar, murah rezeki, memperoleh jalan
hidup yang lebih baik, lebih berwibawa, dsb, maka mesti menjaga tingkah lakunya
agar dapat menjelma dalam tingkat yang lebih tinggi derajatnya, lebih baik
dalam segala hal, minimal tidak jatuh menjadi makhluk yang lebih rendah atau
lebih sengsara.
e) Yoga. Karena yakin dengan
adanya sorga yaitu alam tempat arwah yang sangat menyenangkan, alam tempat meinkmati
suka cita bagi arwah yang pada waktu hidupnya banyak berbuat baik. Apalagi
yakin dengan adanya moksa yang lebih tinggi lagi daripada surga yaitu
menyatunya Atma dengan Brahman (Tuhan) bagi yang berhasil melepaskan diri dari
belenggu papa dengan berbuat baik (Subhakarma) menikmati “Sat cit ananda” atau
“Suka tan pawali dukha”, artinya suka yang tak akan pernah kembali menemukan
duka, dengan kata lain mencapai kebahagiaan abadi. Seseorang akan dapa lepas
dari lingkaran karma dan samsara apabila sanggup membuat hidupnya betul-betul
suci. Dan itulah yang disebut moksha.[4]
Pada saat itulah seseorang akan dapat menyatukan diri (siddha) dengan Brahma.
Etika atau sila semakin menjauhkan orang dari neraka dan menghantarkan untuk
semakin dekat dengan sorga dan moksa. Keyakinan ini mendorong orang untuk
beretika, lebih semangat untuk menegakkan sila dalam hidupnya.
Dalam usaha mencapai moksa ini, kitab Bhagawat Gita telah
menjelaskan bahwa jalan yang harus ditempuh ialah dengan melaksanakan yoga.
Yoga dalam pengertiannya yang sederhana adalah usaha mendisiplinkan
diri, tata cara meditasi, cara mengendalikan atau cara mengawasi. Dimaksudkan
dengan mengendalikan maupun mengawasi dan menguasai kegiatan ingatan dan
kegiatan indra serta melakukan tekanan terhadapnya.
Yoga terdiri atas dua tingkatan. Tingkatan pertama bersifat
perbuatan lahir. Dan tingkatan kedua bersifat perbuatan batin. [11]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Agama
Hindu mempunyai bangunan dasar agama yang sangat ketat, hal ini sebagai pedoman
bagi umat Hindu dalam menjalankan ibadah serta syariat agamanya sehari-hari.
Dalam agama Hindu etika dinamakan susila, yang berasal dari dua suku kata, su
yang berarti baik, dan sila berarti kebiasaan atau tingkah laku perbuatan
manusia yang baik. Tujuan diperintahkannya untuk menjalankan antara lain: Untuk
membina agar umat Hindu dapat memelihara hubungan baik, hidup rukun dan
harmonis di dalam keluarga maupun masyarakat. Untuk membina agar umat Hindu
selalu bersikap dan bertingkah laku yang baik, kepada setiap orang tanpa
pandang bulu. Untuk membina agar umat Hindu dapat menjadi manusia yang baik dan
berbudi luhur. Untuk menghindarkan adanya hukum rimba di masyarakat, dimana
yang kuat selalu menindas yang lemah. Etika agama Hindu pada dasarnya
mengajarkan aturan tingkah laku yang baik dan mulia. Susila berarti tingkah
laku atau kelakuan yang baik atau mulia yang harus menjadi pedoman hidup
manusia. Hindu seringkali dianggap sebagai agama yang beraliran politeisme
karena memuja banyak Dewa, namun tidaklah sepenuhnya demikian. Dalam agama
Hindu, Dewa bukanlah Tuhan tersendiri. Menurut umat Hindu, Tuhan itu Maha Esa
tiada duanya. Dalam salah satu ajaran filsafat Hindu, Adwaita Wedanta
menegaskan bahwa hanya ada satu kekuatan dan menjadi sumber dari segala yang
ada (Brahman), yang memanifestasikan diri-Nya kepada manusia dalam beragam
bentuk. Dalam Agama Hindu ada lima keyakinan dan kepercayaan, dimana keyakinan
tersebut merupakan kekuatan moral pemeluk agama Hindu yang disebut dengan
Pancasradha.
B.
Saran
Diharapkan mahasiswa dapat berbuat baik setelah mempelajari mater ini. Demi
kebaikan kedepannnya nanti, semoga mahasiswa tidak sekedar membaca materi ini,
tetapi mengamalkkan dan memperbaiki tingkah laku yang sebelumnya kurang baik.
DAFTAR PUSTAKA
K. Bertens, Etika (Jakarta: Gramedia, 2004).
Ketut Rindjin, Etika Bisnis dan Implementasinya (Jakarta:
Gramedia, 2004).
Pudja, Gede. Agama Hindu. Jakarta: Mayasari, 1984.
Wiranta, I Gede A.B. Dasar-dasar Etika dan Moralitas.
Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005.
http://trisnadeviberbagiilmupengetahuan.blogspot.co.id/2016/05/etika-moralitas-perspektif-hindu.html
[1]
K.
Bertens, Etika (Jakarta: Gramedia, 2004).
[2] Ketut Rindjin, Etika Bisnis dan
Implementasinya (Jakarta: Manikgeni, 2001.
[4]
Ketut Rindjin, Etika Bisnis dan Implementasinya (Jakarta:
Gramedia, 2004).
[7] K.M. Suhardana, Pengantar Etika dan
Moralitas Hindu, h. 50.
[9]
http://trisnadeviberbagiilmupengetahuan.blogspot.co.id/2016/05/etika-moralitas-perspektif-hindu.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar