Kamis, 07 Desember 2017

Makalah Ajaran Hindu tentang Etika

Ajaran Hindhu Dharma tentang Etika (Susila)


Disusun Oleh :
     Sifa Fauziah           (11150321000037)
       Munawaroh    (11150321000040)
      

JURUSAN STUDI AGAMA-AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2017

Daftar Isi

Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
B.     Rumusan Masalah
C.     Tujuan Penulisan
D.    Manfaat Penulisan
BAB II PEMBAHASAN
A.    Filsafat Tat Twam Asi
B.     Pengertian Cubhakarma (perbuatan baik) dan jenis-jenisnya
C.     Pengertian Achubakarma (perbuatan tidak baik) dan jenis-jenisnya
BAB III PENUTUP             
A.    Kesimpulan
B.     Saran
DAFTAR PUSTAKA









BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Dalam agama Hindu etika dinamakan susila, yang berasal dari dua suku kata, su yang berarti baik, dan sila berarti kebiasaan atau tingkah laku perbuatan manusia yang baik. Dalam hal ini maka etika dalam agama Hindu dikatakan sebagai ilmu yang mempelajari tata nilai, tentang baik dan buruknya suatu perbuatan manusia, mengenai apa yang harus dikerjakan dan apa yang harus ditinggalkan, sehingga dengan demikian akan tercipta kehidupan yang rukun dan damai dalam kehidupan manusia. Pada dasarnya etika merupakan rasa cinta kasih, rasa kasih sayang, dimana seseorang yang menjalani dan melaksanakan etika itu karena ia mencintai dirinya sendiri dan menghargai orang lain.
Etika menjadikan kehidupan masyarakat menjadi harmonis, karena saling menjunjung tinggi rasa saling menghargai antar sesama dan saling tolong menolong. Dengan etika akan membina masyarakat untuk menjadi anggota keluarga dan anggota masyarakat yang baik, menjadi warga negara yang mulia.
Etika (Ethic = Bahasa Inggris) artinya, susila, kesusilaan, ilmu akhlak. Sila adalah salah satu kerangka dasar ajaran agama Hindu (Tatwa, Sila Upacara) atau merupakan ajaran pertama dan utama dari Saptangga Dharma, yaitu:
1)         Sila = Kesusilaan
2)         Yadnya = Persembahan suci
3)         Tapa = Pengendalian diri
4)         Dana = Berderma
5)         Prawrjya = Menyebarkan Dharma
6)         Diksa = Upacara inisisai
7)         Yoga = Menunggalkan diri dengan Tuhan
Pada Sloka Wrehaspati Tattwa No. 25 itu dijelaskan bahwa, “Sila ngaranya mangrakascara rahayu”, yang artinya Sila adalah menjaga perilaku/kebiasaan agar tidak menyimpang dari norma-norma kebenaran dan kebaikan. Dengan lain katanya, memelihara perangai yang baik dan benar menurut Dharma Agama dan sosial budaya. Suatu perilaku dikatakan etis apabila; sopan, pantas/wajar, baik, dan benar sesuai norma dan nilai yang berlaku. Sedangkan norma atau aturan tingkah laku yang baik dan mulia disebut Tata Susila.
Ajaran Hindu tidak memakai istilah dogmatik baik dan jahat atau surga dengan neraka melainkan memiliki etika-etika yang berdasar karena kebutuhan untuk menyelaraskan keinginan individu, emosi, dan ambisi untuk mengarahkannya pada sebuah kehidupan yang harmonis di bumi dengan tujuan mutlak dari agama Hindu untuk menyadari keberadaan kita sendiri. Kesadaran diri menurut pandangan Hindu adalah kesadaran pada diri kita dengan Tuhan, sebagai sumber dan intisari dari keberadaan manusia dan kebebasannya. Dalam kitab Hindu menyatakan bahwa setiap individu yang terdiri dari tubuh fisik (sarira), pikiran (manas), intelek (buddhi), dan diri (atman). Berdasarkan 4 hal itu, setiap individu membutuhkan hal-hal keduniawian (artha) untuk dapat mempertahankan tubuh fisik dan memuaskan segala kebutuhan keluarga dengan ketergantungannya. Untuk memuaskan pikiran dan intelek, kebutuhan untuk memenuhi keinginannya dan pengejaran intelek (kama) atau penyatuan dengan Tuhan merupakan tujuan utama dalam kehidupan manusia.
Setiap manusia harus memainkan perannya demi kebaikan masyarakat, bangsa, dan dunia dengan melakukan tindakan yang dimotivasi kebaikan sosial dan bertindak sesuai dengan batasan dharma (kebenaran), tugas, moral, dan hukum sosial. Sehingga dalam hal ini terdapat empat tujuan prinsip hidup manusia yaitu dharma, artha, kama, dan moksa. Dharma adalah yang pertama, yang menandakan bahwa ketiganya tidak dapat dipenuhi tanpa memenuhi kewajiban dharma. Moksa adalah tujuan yang terakhir karena keterikatan adalah memungkinkan ketika dari ketiga bagian lain sudah terpenuhi. Walaupun dharma memiliki arti yang berbeda dari sudut pandang etika, dharma adalah sistem moral dan nilai etika. Hindu Dharma menyadari adanya tujuh faktor yang membuat seseorang menyimpang dari jalan dharma atau mengarah untuk perbuatan dosa, yaitu penderitaan (tresna), kemarahan (krodha), ketamakan (lobha), keterikatan (moha), rasa bangga (mada), kecemburuan (matsarya), dan egoisme (ahankara).
Untuk menghindari manusia tidak menyimpang karena pengaruh ketujuh faktor tersebut, maka di dalam filsafat Hindu terdapat sepuluh kebajikan, yang dikenal dengan "Dharma Laksana", yang terdapat di dalam kitab "Manu Smrti" yaitu sebagai berikut:
Akrodha (tidak marah): Kemarahan yang menutupi alasan, menghasilkan perbedaan antara benar dan salah, serta kebajikan dan keburukan. Ketika pemikiran yang dapat membedakan itu dirusak maka orang tersebut akan kehilangan identitas diri. Seseorang yang marah akan menyakiti diri sendiri dan orang lain, dengan tiga cara yang berbeda secara fisik (melalui kekerasan), secara verbal (melalui kata-kata kasar), dan secara mental (melalui keinginan yang buruk). Pengendalian kemarahan dapat diartikan sebagai sebuah pemikiran yang baik dalam diri.
Asteya (tidak mencuri): Secara umum mencuri dapat didefinisikan sebagai mengambil dengan paksa atau dengan tidak adil barang/benda milik orang lain. Dalam etika Hindu, mencuri juga termasuk didalamnya ingin menguasai barang/benda orang lain dan di atas kebutuhan legistimasi yang menghambat kemajuan orang lain, atau mengambil kesempatan mereka dengan memiliki sesuatu melalui maksud yang ilegal. Kurangnya pengendalian indera dan ketamakan seseorang biasanya menimbulkan suatu keinginan untuk mencuri. Seseorang yang memegang teguh asteya akan bebas dari ketamakan dan tidak memiliki keinginan untuk mencuri.
Atma Vinigraha (pengendalian pikiran): Pikiran yang terganggu tidak dapat akan membedakan benar dengan yang salah atau kebaikan dengan keburukan. Konsentrasi dalam memberikan kebijaksanaan dan kasih yang mendalam dapat meningkatkan kekuatan pikiran.
Dama (pengendalian diri atau pengendalian indera): Indera harus dapat dikendalikan sehingga dapat berfungsi sesuai dengan pengarahan alasan. Pengendalian diri bukan tidak berarti penolakan diri namun dalam bersikap sederhana dalam memuaskan kebutuhan dan menghindari kebodohan. Seseorang yang dapat mengendalikan dan membebaskan dirinya dari berbicara yang lepas kendali, gosip, minum berlebihan, dan menjaga tubuh dan pikirannya agar terkendali. Kurangnya diskriminasi antara apa yang yang harus dan tidak harus dilakukan yang mengarahkan seseorang pada angan-angan. Sebuah pikiran yang berkhayal menjadi tidak sehat untuk dapat menyadari tujuan dari hidup seseorang.
Dhi (kemurnian pikiran): Kemurnian pikiran dan intelek adalah lebih penting daripada kecerdasan. Seorang manusia yang memiliki kemurnian intelek akan bebas dari rasa sakit, temperamen yang tidak baik, perasaan yang buruk, dan keinginan yang tidak dapat diduga. Para Rsi Hindu berpendapat bahwa kecerdasan sangat dianjurkan untuk pengajaran pada kitab agar melakukan perbuatan yang baik dan pikiran yang mulia serta meditasi yang teratur.
Dhrti (ketetapan dan persistence): Seseorang harus tetap dalam hal pendirian untuk dapat menemukan kebenaran. Pikiran yang selalu terus beriak tidak akan dapat menemukan kebenaran. Hidup yang benar sangat dimungkinkan hanya dengan komitmen seseorang untuk menjalankan kehidupannya.
Ksama (pengampunan atau kesabaran): Pengampunan adalah kebaikan yang utama dari moral dan etika hidup. Pengampunan dapat mempertahankan kesucian pikiran bahkan situasi yang provokatif dalam kehidupan seseorang.
Satya (kebenaran): Satya tidak berarti semata-mata berkata yang benar, perkataan dan perbuatan, dan dalam hubungan kita dengan orang lain. Untuk menjalankan kehidupan yang bermoral dan hidup yang beretika, maka seseorang harus melakukan kebenaran. Konsep dari moralitas dapat berubah setiap waktu, namun kebenaran tidak akan pernah berubah. Tidak ada seorangpun yang dapat menyembunyikan kebenaran secara terus menerus.
Sauca (kemurnian tubuh dan pikiran): Kemurnian itu terbagi dalam dua jenis yaitu fisik dan mental. Kemurnian fisik berarti menjaga tubuh seseorang bersih dari luar maupun dalam. Kebersihan diri dari dalam dapat diperoleh dengan menjalankan hukum kesehatan yang baik dan memakan makanan yang "sattvika" (makanan yang menyehatkan, kekuatan metal, kekuatan, panjang umur, dan yang bergizi serta mengandung nutrisi). Kebersihan luar artinya mengenakan pakaian yang bersih dan menjaga kebersihan tubuh. Kemurnian mental berarti bebas dari pemikiran yang negatif dari nafsu, ketamakan, kemarahan, kebencian, rasa bangga, kecemburuan, dan lain-lain.
Vidya (pengetahuan): Kitab Hindu menyatakan bahwa pengetahuan itu ada dua jenis yaitu pengetahuan yang lebih rendah (apara-vidya) dan pengetahuan yang lebih tinggi (para-vidya). Pengetahuan yang lebih rendah artinya pengetahuan yang bersifat keduniawian dalam bidang ilmu dan pengetahuan yang sangat diperlukan untuk kehidupan di dunia. Sedangkan pengetahuan yang lebih tinggi adalah pengetahuan spiritual yang mengajarkan cara untuk dapat mengatasi kesengsaraan yang tidak diharapkan, menggapai tujuan yang bukan halangan, serta mencapai kekuatan mental dan spiritual untuk dapat mengatasi perjuangan hidup. Pengetahuan spiritual dapat diperoleh melalui belajar kitab yang berhubungan dengan orang suci, dan dengan melakukan perbuatan yang tidak mementingkan diri (niskama). Pengetahuan spiritual juga dapat membantu seseorang untuk menjalankan kehidupan yang berarti, yang menguntungkan secara sosial. Tujuan pengetahuan spiritual ini adalah untuk mencapai penyatuan yang mutlak dengan Tuhan.

Dalam kehidupan bermasyarakat seseorang tidak terlepas dari perbuatan yang baik maupun buruk. Maka untuk menuntun agar seseorang berprilaku baik terhadap sesama diperlukan adanya pedoman atau petunjuk, dalam hal ini yaitu ketika agama.             Etika merupakan suatu hal yang sangat penting sebagai acuan dalam berprilaku. Baiknya suatu masyarakat atau individu dapat dilihat dari bagaimana dia menempatkan sesuatu pada tempatnya, dan bagaimana dia berprilaku.
Etika merupakan rasa cinta kasih, rasa kasih sayang, dimana seseorang yang menjalani dan melaksanakan etika itu karena ia mencintai dirinya sendiri dan menghargai orang lain.       Etika dalam agama Hindu dikatakan sebagai ilmu yang mempelajari tata nilai, tentang baik dan buruknya suatu perbuatan manusia, mengenai apa yang harus dikerjakan dan apa yang harus ditinggalkan, sehingga dengan demikian akan tercipta kehidupan yang rukun dan damai dalam kehidupan manusia.
Membicarakan tentang etika, kita akan menemukan banyak makna yang terkandung dalam kata tersebut. Hal ini karena pada dasarnya setiap tingkah laku manusia merupakan cerminan kepribadian seseorang itu. Baik buruknya tingkah laku merupakan manifesto dirinya sendiri. Sehingga sangat sulit untuk mendeskripsikan tingkah laku seseorang atau masyarakat. Terlepas dari itu semua, dalam hal ini kita akan membahas mengenai makna etika yang berkaitan dengan tingkah laku manusia dalam berbagai versi secara umum.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, etika mempunyai tiga arti, antara lain:
1.    Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk, serta hak dan kewajiban moral (akhlak)
2.    Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak.
3.    Nilai yang membahas mengenai benar dan salah yang dianut oleh suatu golongan masyarakat.
Untuk lebih mudah memahami tentang etika, maka makna etika dapat dibedakan menjadi tiga makna (urutan yang dibalik), yaitu:[1]
1.    Nilai-nilai serta norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok masyarakat dalam mengatur tingkah lakunya. Dalam hal ini etika dirumuskan sebagai sistem nilai yang bisa berfungsi baik dalam kehidupan manusia perseorangan maupun pada tarap sosial.
Etika merupakan kumpulan Disamping pengertian diatas, makna lain mengenai etika dapat dijelaskan sebagai berikut.[2]
2.      Etika mempunyai makna sama dengan moral yaitu suatu adat kebiasaan. Moral mengandung makna yang berkenaan dengan perbuatan yang baik dan buruk. Disamping itu dikenal juga konsep moralitas, yaitu sistem nilai yang terkandung dalam petuah, nasihatasas atau nilai moral, dalam hal ini disebut sebagai kode etik.
3.      Norma diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang baik atau buruknya tingkah laku seseorang. Disini diartikan sebagai filsafat moral.
      perintah atau aturan yang diwariskan secara turun temurun melalui agama atau kebudayaan dan tentang bagaimana seharusnya manusia hidup agar menjadi lebih baik. Moralitas memberikan manusia petunjuk dan aturan tentang bagaimana harus hidup, bertindak yang baik dan menghindari perilaku yang tidak baik. Moralitas juga dapat diartikan sebagai kualitas perbuatan manusia, sehingga perbuatan manusia dapat dikatakan baik atau buruk, salah atau benar. Dalam hal ini moralitas itu bersumber dari hati nurani. Hati nurani itulah yang memerintahkan atau melarang seseorang untuk melakukan sesuatu. Perbedaan moral dan etika ialah: jika moral bersumber dari diri seseorang yaitu hati nuraninya, sedangkan etika berdasarkan kepada hal-hal diluar dirinya seperti kebiasaan atau norma-norma yang berlaku di masyarakat.
1.    Etika disebut sebagai adat kebiasaan yaitu norma-norma yang dianut oleh kelompok, golongan atau masyarakat tertentu, baik mengenai perbuatan yang baik maupun perbuatan yang bruruk.
2.    Etika dikenal juga sebagai studi tentang prinsip-prinsip perilaku yang baik dan yang buruk. Dalam hal ini etika dikenal sebagai filsafat moral yang bertujuan mempelajari fakta pengalaman manusia yang mampu membedakan yang benar dan yang salah, yang baik dan yang buruk, dan hukumnya merupakan wajib untuk dilaksanakan bagi seluruh umat manusia. Hal ini karena manusia dihadapkan pada pilihan mengenai tindakan yang seharusnya dan tidak sepantasnya dilakukan, yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Filsafat Tat Twam Asi?
2.      Bagaimana Pengertian Cubhakarma (perbuatan baik) dan jenis-jenisnya?
3.      Bagaimana Pengertian Achubakarma (perbuatan tidak baik) dan jenis-jenisnya?
C.     Tujuan Penulisan
Sebagai acuan untuk berprilaku. Baiknya suatu masyarakat atau individu dapat dilihat dari bagaimana dia menempatkan sesuatu pada tempatnya, dan bagaimana dia berprilaku.
D.    Manfaat Penulisan
Etika dalam agama Hindu dikatakan sebagai ilmu yang mempelajari tata nilai, tentang baik dan buruknya suatu perbuatan manusia, mengenai apa yang harus dikerjakan dan apa yang harus ditinggalkan, sehingga dengan demikian akan tercipta kehidupan yang rukun dan damai dalam kehidupan manusia.












BAB II
PEMBAHASAN

A.    Filsafat Tat Twam Asi
Tat Twam Asi adalah kata-kata dalam filsafat Hindu yang mengajarkan tentang kesusilaan tanpa batas.
Tat Twam Asi terdiri dari tiga kata, yaitu :
1.     Tat berarti itu (dia)
2.     Twam berarti kamu
3.     Asi berarti adalah. Jadi, Tat Twam Asi artinya itu/dia adalah kamu, dan juga saya adalah kamu.
Makna “itu” menunjukan kepada Brahman, sedangkan makna “kamu” menurut weda menunjukan kepada Atman.
Tat Twam Asi berasal dari ajaran agama Hindu di India. Artinya : “aku adalah engkau, engkau adalah aku”. Filosofi yang termuat dari ajaran ini adalah bagaimana kita bisa berempati, merasakan apa yang tengah dirasakan oleh orang yang di dekat kita. Ketika kita menyakiti orang lain, maka diri kita pun tersakiti. Ketika kita mencela orang lain, maka kita pun tercela. Maka dari itu, bagaimana menghayati perasaan orang lain, bagaimana mereka berespon akibat dari tingkah laku kita, demikianlah hendaknya ajaran ini menjadi dasar dalam bertingkah laku. [3]
Tata susila sering juga disebut dengan ethika(sopan santun). Ethika itu dapat diterapkan sesuai dengan tujuannya, bila manusia memiliki wiweka, yitu kemampuan membedakan dan memilih diantara yang baik dengan yang buruk , yang benar dengan yang salah dan lain sebagainya. Demikianlah tata susila dengan wiweka, keduanya saling melengkapi kegunaanya dalam hidup dan kehidupan ini.
Perguruan Weda lainnya memberikan penafsiran yang berbeda-beda mengenai kalimat tersebut:
1. Suddhadwaita: kesatuan dalam "esensi" antara 'tat' dan diri individu; namun 'tat'
adalah keseluruhan sementara sang diri hanyalah bagian.
2.Wisistadwaita: identitas diri individu sebagai bagian dari keseluruhan yang    dinyatakan oleh 'tat', yaitu Brahman.
3. Dwaitadwaita: kesamaan dan perbedaan yang setara antara sang diri sebagai bagian dari suatu keseluruhan yang dinyatakan dengan 'tat'.
4.Acintya Bheda Abheda: kesatuan dan perbedaan yang tak terpikirkan/sulit dibayangkan antara sang diri sebagai bagian dari keseluruhan yang dinyatakan dengan 'tat'.
Bentuk- bentuk ajaran tat twan asi
Tat Twam Asi adalah ajaran moral yang bernafaskan ajaran agama Hindu. Wujud nyata /riil dari ajaran ini dapat kita cermati dalam kehidupan dan prilaku keseharian dari umat manusia yang bersangkutan. Jiwa sosial ini seharusnya diresapi dengan sinar-sinar kesusilaan tuntunan Tuhan dan tidak dibenarkan dengan jiwa kebendaan semata.
Ajaran Tat Twan Asi selain merupakan jiwa filsafat sosial, juga merupakan dasar dari tata susila Hindu di dalam usaha untuk mencapai perbaikan moral.
Ajaran agama yang menjadi dasar dan pedoman tata susila Hindu diantaranya adalah ajaran Tri Kaya Parisuhda.
Ajaran Tri Kaya Parisudha merupakan tiga kesusilaan yang penting sebagai bagian dari ajaran Dharma
Dengan demikian barang siapa yang dengan kesungguhan hati menganmalkan ajaranya itu sudah barang tentu akan selalu dalam keadaan selamat dan bahagia, karena ia selalu akan mendapat perlindungan dari perbuatanya yang baik itu.
B.     Pengertian Cubhakarma (perbuatan baik) dan jenis-jenisnya
Cubhakarma berasal dari bahasa sansekerta yang artinya perbuatan baik. Jenis-jenis cubhakarma terbagi menjadi 12 yaitu: [4]
1. Tri Kaya Parisudha
Tri kaya parisudha artinya tiga gerak perilaku manusia yang harus disucikan yaitu berfikir yang bersih dan suci, berkata yang benar dan berbuat yang jujur. Dari pikiran yang bersih akan muncul perkataan dan perbuatan yang baik.
2.  Catur Paramita
Catur paramita adalah empat bentuk budi luhur yaitu Maitri yang artinya lemah lembut, karuna yang artinya belas kasihan atau kasih sayang, mudita yang artinya sifat dan sikap menyenangkan orang lain, dan upeksa yang artinya sifat dan sikap menghargai orang lain.
3. Panca Yama Bratha
Panca yama bratha adalah lima macam pengendalian diri dalam hubungannya dengan perbuatan untuk mencapai kesempurnaan rohani dan kesucian batin. Panca yama bratha ini meliputi lima bagian yaitu ahimsa, brahmacari, satya, awyawahara dan asteya.
4. Panca Nyama Bratha
Panca Nyama Bratha adalah lima macam pengendalian diri dalam tingkat mental untuk mencapai kesempurnaan dan kesucian bathin, adapun bagian-bagian dari Panca Nyama Bratha ini adalah Akrodha, Guru Susrusa, Aharalaghawa dan Apramada.
5. Sad Paramita
Sad Paramita adalah enam jalan keutamaan untuk menuju keluhuran. Sad Paramita ini meliputi: Dana Paramita, Sila Paramita, Ksanti Paramita, Wirya Paramita, Dhyana Paramita dan Pradnya Paramita.
6. Catur Aiswarya
Catur Aiswarya adalah suatu kerohanian yang memberikan kebahagiaan hidup lahir dan batin terhadap makhluk. Catur Aiswarya terdiri dari Dharma, Jnana, Wairagya dan Aiswawarya. [5]
7. Asta Siddhi
Asta Siddhi adalah delapan ajaran kerohanian yang memberi tuntunan kepada manusia untuk mencapai taraf hidup yang sempurna dan bahagia lahir batin. Asta Siddhi meliputi: Dana, Adnyana, Sabda, Tarka, Adyatmika, Adidewika, Adi Boktika dan Saurdha
8. Nawa Sanga
Nawa Sanga terdiri dari: Sadhuniragraha, Andrayuga, Guna bhiksama, Widagahaprasana, Wirotasadarana, Kratarajhita, Tiagaprassana, Curalaksana dan Curapratyayana.
9. Dasa Yama Bratha
Dasa Yama Bratha  adalah sepuluh macam pengendalian diri, yaitu Anresangsya atau Arimbhawa, Ksama, Satya, Dama, Arjawa, Priti, Prasada, Madurya dan Mardhawa. [6]
10. Dasa Nyama Bratha
Dasa Nyama Bratha terdiri dari: Dhana, Ijya, Tapa, Dhyana, Upasthanigraha, Swadhyaya, Bratha, Upawasa, Mona dan Sanana.
11. Dasa Dharma
Yang disebut Dasa Dharma menurut Wreti Sasana, yaitu Sauca; Indriyanigraha; Hrih; Widya; Satya; Akrodha; Drti; Ksama; Dama dan Asteya.
12. Dasa Paramartha
Dasa Paramartha ialah sepuluh macam ajaran kerohanian yang dapat dipakai penuntun dalam tingkah laku yang baik serta untuk mencapai tujuan hidup yang tertinggi (Moksa). Dasa Paramartha ini terdiri dari: Tapa; Bratha; Samadhi; Santa; Sanmata; Karuna; Karuni; Upeksa; Mudhita dan Maitri.
C.    Pengertian Achubakarma (perbuatan tidak baik) dan jenis-jenisnya
Acubhakarma adalah segala tingkah laku yang tidak baik yang selalu menyimpang dengan Cubhakarma (perbuatan baik). Semua jenis perbuatan yang tergolong acubhakarma ini merupakan larangan-larangan yang harus dihindari di dalam hidup ini. Karena semua bentuk perbuatan acubhakarma ini menyebabkan manusia berdosa dan hidup menderita. menurut agama Hindu, bentuk-bentuk acubhakarma yang harus dihindari di dalam hidup ini adalah: [7]
1. Tri Mala
Tri Mala adalah tiga bentuk prilaku manusia yang sangat kotor, yaitu Kasmala ialah perbuatan yang hina dan kotor, Mada yaitu perkataan, pembicaraan yang dusta dan kotor, dan Moha adalah pikiran, perasaan yang curang dan angkuh.
2. Catur Pataka
Catur Pataka adalah empat tingkatan dosa sesuai dengan jenis karma yang menjadi sumbernya yang dilakukan oleh manusia yaitu Pataka yang terdiri dari Brunaha (menggugurkan bayi dalam kandungan); Purusaghna (Menyakiti orang), Kaniya Cora (mencuri perempuan pingitan), Agrayajaka (bersuami isteri melewati kakak), dan Ajnatasamwatsarika (bercocok tanam tanpa masanya); Upa Pataka terdiri dariGowadha (membunuh sapi), Juwatiwadha (membunuh gadis), Balawadha (membunuh anak), Agaradaha (membakar rumah/merampok); Maha Pataka terdiri dari Brahmanawadha (membunuh orang suci/pendeta), Surapana (meminum alkohol/mabuk), Swarnastya (mencuri emas), Kanyawighna (memperkosa gadis), dan Guruwadha (membunuh guru); Ati Pataka terdiri dari Swaputribhajana (memperkosa saudara perempuan); Matrabhajana (memperkosa ibu), dan Lingagrahana (merusak tempat suci).
3. Panca Bahya Tusti
Adalah lima kemegahan (kepuasan) yang bersifat duniawi dan lahiriah semata-mata, yaitu Aryana artinya senang mengumpulkan harta kekayaan tanpa menghitung baik buruk dan dosa yang ditempuhnya; Raksasa artinya melindungi harta dengan jalan segala macam upaya; Ksaya artinya takut akan berkurangnya harta benda dan kesenangannya sehingga sifatnya seing menjadi kikir; Sangga artinya doyan mencari kekasih dan melakukan hubungan seksuil; dan Hingsa artinya doyan membunuh dan menyakiti hati makhluk lain.
4. Panca Wiparyaya
Adalah lima macam kesalahan yang sering dilakukan manusia tanpa disadari, sehingga akibatnya menimbulkan kesengsaraan, yaitu: Tamah artinya selalu mengharap-harapkan mendapatkan kenikmatan lahiriah; Moha artinya selalu mengharap-harapkan agar dapat kekuasaan dan kesaktian bathiniah; Maha Moha artinya selalu mengharap-harapkan agar dapat menguasai kenikmatan seperti yang tersebut dalam tamah dan moha; Tamisra artinya selelu berharap ingin mendapatkan kesenangan akhirat; dan Anda Tamisra artinya sangat berduka dengan sesuatu yang telah hilang.
5. Sad Ripu
Sad Ripu adalah enam jenis musuh yang timbul dari sifat-sifat manusia itu sendiri, yaitu Kama artinya sifat penuh nafsu indriya; Lobha artinya sifat loba dan serakah; Krodha artinya sifat kejam dan pemarah; Mada adalah sifat mabuk dan kegila-gilaan; Moha adalah sifat bingung dan angkuh; dan Matsarya adalah sifat dengki dan irihati.
6.Sad Atatayi
Adalah enam macam pembunuhan kejam, yaitu Agnida artinya membakar milik orang lain; Wisada artinya meracun orang lain; Atharwa artinya melakukan ilmu hitam; Sastraghna artinya mengamuk (merampok); Dratikrama artinya memperkosa kehormatan orang lain; Rajapisuna adalah suka memfitnah.
7. Sapta Timira
Sapta Timira adalah tujuh macam kegelapan pikiran yaitu:  Surupa artinya gelap atau mabuk karena ketampanan; Dhana artinya gelap atau mabuk karena kekayaan; Guna artinya gelap atau mabuk karena kepandaian; Kulina artinya gelap atau mabuk karena keturunan; Yowana artinya gelap atau mabuk karena keremajaan; Kasuran artinya gelap atau mabuk karena kemenangan; dan Sura artinya mabuk karena minuman keras.[8]
8. Dasa Mala
Artinya adalah sepuluh macam sifat yang kotor. Sifat-sifat ini terdiri dari Tandri adalah orang sakit-sakitan; Kleda adalah orang yang berputus asa; Leja adalah orang yang tamak dan lekat cinta; Kuhaka adalah orang yang pemarah, congkak dan sombong; Metraya adalah orang yang pandai berolok-olok supaya dapat mempengaruhi teman (seseorang); Megata adalah orang yang bersifat lain di mulut dan lain di hati; Ragastri adalah orang yang bermata keranjang; Kutila adalah orang penipu dan plintat-plintut; Bhaksa Bhuwana adalah orang yang suka menyiksa dan menyakiti sesama makhluk.
           Dasar-Dasar Etika Hindu
Hindu seringkali dianggap sebagai agama yang beraliran politeisme karena memuja banyak Dewa, namun tidaklah sepenuhnya demikian. Dalam agama Hindu, Dewa bukanlah Tuhan tersendiri. Menurut umat Hindu, Tuhan itu Maha Esa tiada duanya. Dalam salah satu ajaran filsafat Hindu, Adwaita Wedanta menegaskan bahwa hanya ada satu kekuatan dan menjadi sumber dari segala yang ada (Brahman), yang memanifestasikan diri-Nya kepada manusia dalam beragam bentuk.
Dalam Agama Hindu ada lima keyakinan dan kepercayaan, dimana keyakinan tersebut merupakan kekuatan moral pemeluk agama Hindu yang disebut dengan Pancasradha. Pancasradha merupakan keyakinan dasar umat Hindu. Kelima keyakinan tersebut, yakni:
a)  Widdhi sraddha sebagai dasar etika Hindu. Karena yakin bahwa Brahman (Tuhan) berada dimana-mana dan selalu ada serta maha tahu, mengetahui semua yang tampak dan tak tampak, maka menjadi alasan atau dasar yang mendorong orang untuk selalu menjaga perilakunya agar tidak menyimpang dari ajaran-ajaran Tuhan (Agama) dimana dan kapan pun, baik ada yang melihat maupun tidak. Walau hanya dalam angan atau pikiran saja semestinya tidak dibiarkan menyimpang karena Tuhan mengetahui apapun yang ada dalam pikiran manusia. Apalagi umat Hindu juga yakin bahwa Tuhan menyayangi orang-orang yang susila dan berbudi pekerti yang luhur.
b)  Karena yakin dengan Atman[9]  adalah dewa yang memberikan kekuatan hidup pada setiap mahkluk, maha saksi yang tidak dapat ditipu, maka timbul etika tidak boleh bohong. “Sanghyang Atma sirata dewa ring sarira, manoning ala ayu tan keneng in imur-imur.” Artinya, Sanghyang Atma adalah dewa dalam tubuh, mengetahui palsu dan sejati (baik-buruk) tak dapat dikelabuhi.
Karena yakin bahwa pada dasarnya Atma semua makhluk adalah tunggal, tapi berbeda kondisinya karena karmanya dan tubuhnya masing-masing maka Hindu meyakini konsep “Bhineka - Tunggal” artinya berbdea-beda satu sama lain namun pada hakekatnya tunggal. Berdasarkan kenyataan bahwa manusia keadaannya berbeda-beda, ada yang lebih tua, ada yang lebih muda, ada yang lebih tinggi statusnya, ada yang lebih rendah, maka orang ber-tata krama atau ber-etika; orang yang lebih rendah statusnya atau lebih muda umurnya patut menghormati yang lebih tinggi statusnya atau lebih tua umurnya, orang lebih tinggi statusnya atau lebih patut menghargai yang lebih rendah dan yang lebih muda. Berdasarkan keyakinan bahwa, pada hakekatnya semua Atma adalah tunggal, melahirkan filsafat “Tat Twam Asi” artinya dia adalah kamu : melandasi serta mendorong etika untuk saling menghargai satu sama lain. Tat Twam Asi juga landasan dasar salah satu ajaran Etika Hindu: “Arimbawa” maksudnya punya pertimbangan kemanusiaan, punya rasa kasihan, ingin menolong, dapat memaafkan, sehingga dalam memperlakukan atau menindak orang lain mengukur pada diri sendiri. Sebelum bertindak tanya dulu kepada diri sendiri “Bagaimana seandainya aku diperlakukan atau ditindak demikian?” Bila menimbulkan rasa tak enak, menyakitkan, maka sebaiknya orang tidak diperlakukan demikian: bila menyenangkan atau membahagiakan (dalam arti positif) sebaiknya dilakukan.
c)  Karena yakin dengan Hukum Karma Phala (buah perbuatan) bahwa, setiap perbuatan pasti akan membawa akibat, maka orang menjaga sikap dan perilakunya agar selamat (anggraksa cara rahayu) termasuk menjaga pikiran.
“Yadiastun riangen-angen maphala juga ika” Artinya, walaupun baru hanya dalam pikiran akan membawa akibat itu. “Siapakari tan temung ayu masadana sarwa ayu, nyata katemwaning ala masadhana sarwa ala” Artinya, siapa yang tak akan memperoleh kebaikan bila sudah didasari dengan perbuatan baik? Pastilah hal-hal yang buruk akan dituai bila didasari dengan perbuatan buruk. Keyakinan pada KarmaPhala jelas menjadi dasar dan sekaligus kontrol dalam berpikir, berkata, dan berbuat. Demikianlah keyakinan pada Hukum Karma Phala menumbuhkan Etika Hindu.
Konsep ini sama dengan hukum sebab akibat (causal law). Selain bernilai etika moralis, juga mempunyai nilai filosofis yang mendalam. Konsep ini juga merupakan penuntun bagi setiap orang yang mempercayai hukum alam dan hukum yang dibuat oleh manusia sendiri. Bila seseorang menanam jagung, pasti akan memetik buah jagung pada saatnya. Bila seseorang berbuat baik, pasti ada saatnya yang tepat dia akan memetik hasil perbuatannya tersebut. Oleh karena itu, dalam agama Hindu terdapat konsep Tri Kaya Parisudha (tiga hal yang menyangkut kesucian / kebenaran), yakni: ‘berpikir yang suci dan benar, berkata yang suci dan benar, dan berperilaku yang suci dan benar’.
Adanya Hukum Karma Phala menuntun kebanyakan pemeluk agama Hindu untuk berbuat yang tidak merugikan orang lain termasuk pemeluk agama lain karena ada rasa kurang berani menerima akibat yang buruk bagi pelaku. [10]
d) Berdasarkan keyakinan pada Punarbhawa/samsara (reinkarnasi). Pemeluk agama Hindu sangat meyakini bahwa ada kehidupan setelah kematian. Setelah beberapa lama di alam “sana”, mungkin di surga atau neraka, atau sebentar di surga dan selebihnya di neraka, maka dia akan lahir sesuai karmanya. Sisa perbuatan pada masa kehidupan yang lalu, akan dinikmati sebagian pada kelahiran berikutnya yang dikenal dengan istilah wasana karma.  Bila orang berperilaku buruk dalam hidupnya akan lahir menjadi makhluk yang lebih rendah, mungkin menjadi manusia cacat bahkan mungkin menjadi binatang tergantung derajat keburukan perilakunya, sebaiknya bila dalam hidupnya didominasi oleh perbuatan-perbuatan baik, maka kelak ia akan lahir pada tingkat makhluk yang lebih mulia seperti menjadi manusia yang lebih rupawan, pintar, murah rezeki, memperoleh jalan hidup yang lebih baik, lebih berwibawa, dsb, maka mesti menjaga tingkah lakunya agar dapat menjelma dalam tingkat yang lebih tinggi derajatnya, lebih baik dalam segala hal, minimal tidak jatuh menjadi makhluk yang lebih rendah atau lebih sengsara.
e)  Yoga. Karena yakin dengan adanya sorga yaitu alam tempat arwah yang sangat menyenangkan, alam tempat meinkmati suka cita bagi arwah yang pada waktu hidupnya banyak berbuat baik. Apalagi yakin dengan adanya moksa yang lebih tinggi lagi daripada surga yaitu menyatunya Atma dengan Brahman (Tuhan) bagi yang berhasil melepaskan diri dari belenggu papa dengan berbuat baik (Subhakarma) menikmati “Sat cit ananda” atau “Suka tan pawali dukha”, artinya suka yang tak akan pernah kembali menemukan duka, dengan kata lain mencapai kebahagiaan abadi. Seseorang akan dapa lepas dari lingkaran karma dan samsara apabila sanggup membuat hidupnya betul-betul suci.  Dan itulah yang disebut moksha.[4] Pada saat itulah seseorang akan dapat menyatukan diri (siddha) dengan Brahma. Etika atau sila semakin menjauhkan orang dari neraka dan menghantarkan untuk semakin dekat dengan sorga dan moksa. Keyakinan ini mendorong orang untuk beretika, lebih semangat untuk menegakkan sila dalam hidupnya.
Dalam usaha mencapai moksa ini, kitab Bhagawat Gita telah menjelaskan bahwa jalan yang harus ditempuh ialah dengan melaksanakan yoga.
Yoga dalam pengertiannya yang sederhana adalah usaha mendisiplinkan diri, tata cara meditasi, cara mengendalikan atau cara mengawasi. Dimaksudkan dengan mengendalikan maupun mengawasi dan menguasai kegiatan ingatan dan kegiatan indra serta melakukan tekanan terhadapnya.
Yoga terdiri atas dua tingkatan. Tingkatan pertama bersifat perbuatan lahir. Dan tingkatan kedua bersifat perbuatan batin. [11]




BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Agama Hindu mempunyai bangunan dasar agama yang sangat ketat, hal ini sebagai pedoman bagi umat Hindu dalam menjalankan ibadah serta syariat agamanya sehari-hari. Dalam agama Hindu etika dinamakan susila, yang berasal dari dua suku kata, su yang berarti baik, dan sila berarti kebiasaan atau tingkah laku perbuatan manusia yang baik. Tujuan diperintahkannya untuk menjalankan antara lain: Untuk membina agar umat Hindu dapat memelihara hubungan baik, hidup rukun dan harmonis di dalam keluarga maupun masyarakat. Untuk membina agar umat Hindu selalu bersikap dan bertingkah laku yang baik, kepada setiap orang tanpa pandang bulu. Untuk membina agar umat Hindu dapat menjadi manusia yang baik dan berbudi luhur. Untuk menghindarkan adanya hukum rimba di masyarakat, dimana yang kuat selalu menindas yang lemah. Etika agama Hindu pada dasarnya mengajarkan aturan tingkah laku yang baik dan mulia. Susila berarti tingkah laku atau kelakuan yang baik atau mulia yang harus menjadi pedoman hidup manusia. Hindu seringkali dianggap sebagai agama yang beraliran politeisme karena memuja banyak Dewa, namun tidaklah sepenuhnya demikian. Dalam agama Hindu, Dewa bukanlah Tuhan tersendiri. Menurut umat Hindu, Tuhan itu Maha Esa tiada duanya. Dalam salah satu ajaran filsafat Hindu, Adwaita Wedanta menegaskan bahwa hanya ada satu kekuatan dan menjadi sumber dari segala yang ada (Brahman), yang memanifestasikan diri-Nya kepada manusia dalam beragam bentuk. Dalam Agama Hindu ada lima keyakinan dan kepercayaan, dimana keyakinan tersebut merupakan kekuatan moral pemeluk agama Hindu yang disebut dengan Pancasradha.
B.     Saran
Diharapkan mahasiswa dapat berbuat baik setelah mempelajari mater ini. Demi kebaikan kedepannnya nanti, semoga mahasiswa tidak sekedar membaca materi ini, tetapi mengamalkkan dan memperbaiki tingkah laku yang sebelumnya kurang baik.




DAFTAR PUSTAKA

K. Bertens, Etika (Jakarta: Gramedia,  2004).
Ketut Rindjin, Etika Bisnis dan Implementasinya (Jakarta: Gramedia, 2004).
Pudja, Gede. Agama Hindu. Jakarta: Mayasari, 1984.
Wiranta, I Gede A.B. Dasar-dasar Etika dan Moralitas. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005.










[1] K. Bertens, Etika (Jakarta: Gramedia, 2004).
[2]  Ketut Rindjin, Etika Bisnis dan Implementasinya (Jakarta: Manikgeni, 2001.
[3] Wiranta, I Gede A.B. Dasar-dasar Etika dan Moralitas. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005.


[4] Ketut Rindjin, Etika Bisnis dan Implementasinya (Jakarta: Gramedia, 2004).

[5] Wiranta, I Gede A.B. Dasar-dasar Etika dan Moralitas. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005.


[6]  Ketut Rindjin, Etika Bisnis dan Implementasinya (Jakarta: Gramedia, 2004).

[7] K.M. Suhardana, Pengantar Etika dan Moralitas Hindu, h. 50.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

video upacara pemberkatan pernikahan umat budha

Upacara Perenikahan Umat Budha Persyaratan saat akan mengadakan pernikahan didalam tradisis Budha: Mengisi Formulir Pemberkataan ...